Tiga

4K 373 29
                                    

Jam di dinding sudah berdentang sebanyak delapan kali, menandakan bahwa sekarang sudah pukul delapan malam.

Namun pria mungil yang sedang duduk menghadap jendela itu tampak tidak menghiraukan peringatan dari jam, ia masih setia menulisi buku bersampul coklat itu dengan jari-jari lentiknya.

Asahi meletakkan pena yang semula digunakannya untuk menulis dan mulai merenggangkan badan, menarik kedua tangannya ke atas.

"Akhirnya selesai juga.." monolog Asahi sebelum ia dikejutkan dengan jarum jam yang sudah mengambil tempat di angka delapan.

Pantas saja perutnya terasa sakit.

Matanya membulat, ia segera menyimpan buku itu ke dalam laci dan memastikannya terkunci rapat.

Ting

Notifikasi pesan.

Paham akan hal itu, ia bergegas memeriksa pesan yang masuk—tidak mau hal seperti dulu kembali terulang.

Namun zonk, sepertinya itu hanyalah pesan yang dikirim secara acak.

Ya, sepertinya.

Sebab pesan dari orang tak dikenal itu bertuliskan sesuatu yang berhasil membuat Asahi mengerutkan dahinya.

"Hari minggu selalu menyenangkan sebelum kita sadar bahwa esoknya adalah hari senin. Sekarang daun tak lagi berwarna hijau, kapan kau akan melepas rindu?

Si sulung adalah anak yang pandai."

Memilih tak terlalu memikirkan pesan tersebut, Asahi meletakkan kembali gawainya, bergegas menuju dapur untuk memasak makan malam.

Disinilah Asahi sekarang, dengan lihai mengolah bahan makanan yang diambilnya dari kulkas, gerakannya cepat dan gesit. Celemek yang tadinya bersih, kini sudah ternoda. Begitu juga dengan wajah serius itu, ada sedikit noda lancang yang mengotorinya.

Semua berjalan sebagaimana seharusnya, namun saat Asahi hendak mencuci piring dan gelas yang telah digunakan, ia dipanggil oleh seseorang.

"Asahi..."

Asahi terkejut bukan main. Sejak kapan orang itu ada di belakangnya? Dan kenapa ia selalu muncul di belakang Asahi, tanpa suara.

Ah, mungkin aku terlalu fokus memasak. Batin Asahi.

Orang itu melingkarkan lengannya pada perut Asahi, kepalanya ia tenggelamkan pada ceruk leher selagi menghirup aroma vanilla itu dalam-dalam.

Merasa tidak nyaman dengan perlakuan yang diberikan, Asahi segera membalikkan badannya dan berusaha melepaskan diri dengan mendorong badan yang lebih besar. Terlebih, dari tubuh orang itu tercium bau alkohol yang sangat menyengat—Asahi benci bau alkohol.

"Kenapa, hm?" Tanya si pelaku yang entah sedang sadarkan diri atau tidak.

"J-jangan!" Larang Asahi.

Namun terdengar jelas di telinga orang itu bahwa suara barusan bergetar seperti sedang menahan takut.

"Gini?"

"—Gini cara kamu menyambut suamimu pulang?!" Nada bicara orang itu berubah, begitu juga dengan sorot matanya.

Asahi menunduk, badannya bergetar menahan tangis. Ia tidak tahu bagaimana sifat Haruto saat dia mabuk, sebab ini pertama kalinya. Dimana Mashi disaat-saat seperti ini?

Possessive | Harusahi / HasahiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang