Sore itu, langit tampak menawan. Pendar kejinggaan mengiringi kepulangan sang surya. Pemandangan semacam itu tidak terbentuk setiap hari, sayang bila dilewatkan begitu saja. Namun Wafi tak bisa menikmatinya. Berbanding terbalik dengan keindahan yang disuguhkan alam, kondisi perempuan tersebut malah memburuk.
Dia berbaring lemah di atas tempat tidur, secara berkala sesak napas menyerangnya. Seolah bongkahan batu memenuhi dadanya, gumpalan air memampatkan hidungnya; menghalangi oksigen yang mestinya keluar masuk tubuh ringkihnya.
Rasanya benar-benar sakit. Seakan hidupnya berada di ujung tanduk. Begitu banyak rintihan penderitaan yang mengalir dari mulutnya. Begitu banyak permintaan akan kesembuhan terucap di hatinya. Ya Tuhan, makhluk sekecil virus yang tidak mampu dilihat dengan mata telanjang itu, mampu memporak-porandakan kondisi Wafi, menyiksa Wafi, membunuh Wafi secara perlahan.
Wanita tersebut teringat perilakunya di masa lalu. Sikap keras kepalanya ketika enggan menjaga kebersihan, melalaikan himbauan pemerintah untuk menerapkan protokol kesehatan, dan meremehkan bahaya COVID-19 yang tengah melanda. Sekarang lihat apa yang dia dapatkan. Seandainya ia tak senakal itu....
Kemudian tubuh Wafi bergetar, kejang-kejang. Lehernya seakan dicekik. Kesengsaraan memeluknya erat. Untung tangan lesu wanita itu sempat menekan panggilan darurat. Tim medis segera muncul, menangani gejala yang menimpanya. Entah mereka dapat menolongnya atau tidak. Entah bagaimana Tuhan berkehendak.
KAMU SEDANG MEMBACA
TAMAT
Short Story[SHORT STORY • END] Karena alur cerita yang kamu inginkan sebenarnya ada, keindahan itu benar-benar eksis, hanya saja kamu belum melihatnya.