Di depan jendela kamar yang menjadi ruang karantinanya, Wafi memandang keluar. Kala pembagian tempat, wanita tersebut mendapatkan kamar paling pojok, jadi masih bisa menikmati pemandangan luar ketika jenuh-walau hanya sebatas tembok berwarna abu-abu dan tanaman kecil yang mencuat di tepinya.
Pikiran perempuan itu berkelana. Bukan menebak berapa umur tanaman-tanaman yang tumbuh menghiasi pinggiran pagar rumah sakit. Bukan pula bertanya-tanya berapa lama yang dihabiskan sejumlah tukang untuk mengecat tembok yang mengelilingi rumah sakit.
Ia merenungi Mbak Lum.
Berita mengatakan, wanita 42 tahun itu tidak selamat dari Virus Corona yang menjangkitnya. Virus yang muncul pertama di Wuhan pada bulan Desember 2019 dan berujung menjadi pandemi hingga tahun 2020 ini. Virus yang menjadi penyakit menular melalui droplet dan sukses menjamah hampir ke seluruh dunia. Virus yang telah merenggut banyak korban dan mengacaukan situasi beberapa negara. Virus yang juga sedang bersemayam di tubuh Wafi saat ini.
Air matanya jatuh. Setetes. Dua tetes.
Dia takut apa yang terjadi pada Mbak Lum-warga satu RT-nya-terjadi pula pada dirinya. Dia takut dengan penderitaan yang ia peroleh dari virus tersebut.
Wafi berkedip, membersihkan pupilnya dari tangis. Dia tidak boleh bersedih. Justru dengan patah semangat, COVID-19 bakal semakin memperparah kesehatannya. Ia harus menyikapi keadaan ini dengan baik. Wafi harus tetap bahagia.
"Optimis," ucapnya pada diri sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
TAMAT
Short Story[SHORT STORY • END] Karena alur cerita yang kamu inginkan sebenarnya ada, keindahan itu benar-benar eksis, hanya saja kamu belum melihatnya.