23. Keluh Kesah Si Kembang Desa

71 42 14
                                    

Kemarin malam bumi menggemakan darma jika suatu saat Hamada akan bahagia. Rungu Kartika yang seolah mampu mendengar seruan tersebut lantaran bertanya-tanya.

Kapan dan di mana?

Lalu, ketika sepasang netranya terbuka, ia tak lagi bisa mendeteksi di mana gaung tadi tengah bersembunyi. Terang-terang laras dari semburat cahaya nirmala datang-datang sekadar mau menggugah lelap gadis yang satu itu.

Hamada tidak ada di sana, di depannya. Padahal baru semalam dia menitah Hamada untuk jangan bangkit dari kasurnya sebelum Kartika membuka mata, sebab lanskap yang ingin lingkar nayanikanya tangkap hanyalah laki-laki itu semata.

Tak ingin bermanja di kamar dingin, Kartika lantas keluar menghampiri Hamada yang entah di mana eksistensinya kini berada. Selirih apapun suara tak larat menggoda telinga Kartika untuk mencari dan menemukannya.

"Hamada. Kamu di mana?" panggil Kartika.

Barang semenit berlalu presensinya baru termaktub di ambang pintu seraya membawa salep serta obat merah yang Kartika sendiri tidak tahu apa daya gunanya. Saat keduanya bersanding di sofa ruang tamu, tangan Hamada pimpin hasrat tuk tengadahkan kepala Kartika.

Pemuda tersebut berkata. "Leher kamu merah-merah. Aku takut jika hal itu bisa membuat lehermu perih."

Sejemang Kartika langsung mengulum bibir tatkala teringat akan huru-hara malam tadi. Titik lidah kontan tak mampu bertutur kata sebentar sebab Hamada terus memandangi bekas kemerahan di lehernya hingga tampak seperti luka. Ya, Kartika akui Hamada memang sangat buas semalam.

"Siapa sih yang bikin leher aku merah-merah gini?" sindir Kartika menahan tawa.

"Aku." Hamada malah tak segan-segan untuk berkata sejujurnya. "Apakah sangat menyakitkan? Bibir kamu juga sedikit mengeluarkan darah saat kamu masih tidur tadi."

"Nggak papa."

"Aku obati, ya?"

"Nggak usah, Hamada. Biarin aja, ini bukti kalau kamu udah jatuh cinta sama aku." Sempat-sempatnya Kartika bergurau sambil menyenderkan kepalanya di bahu laki-laki itu.

Sulit bagi dia mengingat panasnya ranjang di saat para sandang sudah kadung terlepas ke mana-mana. Hamada tidak bisa mengingat kepuasan itu lagi, atau lebih tepatnya dia tidak mau mengingat-ingat kembali. Lain halnya dengan Hamada, Kartika sangat gampang menyembur gelora malam yang tiada siapa bisa tahu kebenarannya.

Sekali meneguk segelas air minum, Hamada menatap Kartika sangsi. "Aku bilang aku menyukai sentuhan serta ketukanmu dalam bercumbu rayu, sampai aku tak menyadari bahwa asmara yang kurasakan untuk pertama kalinya ini berpusat pada balada kisah kasih cinta dewasa."

"Kamu emang udah dewasa."

"Tapi ini terlalu dewasa."

Tawa Kartika pecah saat itu juga. Benar kata Hamada, tidak heran jika dirinya lebih memilih untuk lupa dan menjadikannya sebagai momentum yang amat tak memiliki arti apa-apa. Di situ, hanya ada kepuasan juga banjir keringat saja. Yang mana Hamada masih belum mengerti kenapa rasa cintanya seakan tak terkendali di malam tadi.

Kini, Kartika beringsut lungguh dipangku laki-laki itu, tak lama ia tekan kedua belah sisi muka Hamada. "Ini owoknya ciapa ci ganteng cekali." Tak ayal perangainya barusan disambut dengan gelak tanggung Hamada.

"Sudah, lah. Jangan terus menggodaku atau bibirmu akan terluka lagi."

"Bilang aja candu!"

"Bukan begitu!"

Sebab tidak ingin Kartika berpikir yang bukan-bukan, Hamada sekonyong-konyong mengangkat tubuh gadis itu dan membawanya ke kamar mandi. "Mandi saja dari pada pikiranmu terus ke mana-mana."

[✔] Antologi HamadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang