29. Setangkai Pena Pemberian Dara

82 46 15
                                    

Setidaknya, kurun waktu satu bulan lewat ini Hamada tansah menjaga Anna serta merawatnya dengan penuh kasih sayang. Jessica pun sempat berpikir bahwa Hamada ada hubungan apa-apa dengan gadis itu. Nyatanya tidak! Garis bawahi jika Hamada tidak pernah memiliki rasa dengan seorang perempuan lain selain Kartika Sumbadra.

Omong-omong tentang dia, Hamada jadi sedikit rindu. Ah, tidak. Sangat rindu kalau dikata. Kira-kira, dia sedang apa, ya? Alasan sampai sekarang keduanya tidak lagi saling berhubungan adalah sebab mereka sudah berjanji menghapus nomor telepon masing-masing. Selain menghapus nomor, keduanya juga berusaha menghapus rasa yang pernah ada.

Itulah kenapa Hamada pernah bilang, risiko jatuh cinta dengan dirinya sangatlah sukar diterima. Perbedaan memengaruhi akhir yang selama ini Kartika damba, untuk bersua satu kali saja pun mereka tidak akan bisa. Biarlah cinta ini sehari demi hari mulai layu dan mengakhiri apa yang sudah mereka rajut bersama dengan sebuah gugurnya dawai asmara.

Mungkin, dengan ini Kartika akan mendapatkan laki-laki yang lebih baik lagi. Laki-laki yang lebih sempurna dari sekelebat cahaya sang surya, atau bisa mencari calon yang lebih mengutamakan keluarga, bukannya lara.

Hamada seringkali menyindir diri sendiri.

Bertukar cuplikan pada pagi yang cerah, tidak terasa hari begitu cepat berakhir. Sore ini cukup untuk Hamada dan Anna menghabiskan waktu seharian. Besok, ataupun lusa di kemudian hari, Anna maupun Hamada akan datang lagi, bersenang-senang selagi bisa. Sebelum kemungkinan Hamada akan bergulat kembali jadi tukang kuli bangunan.

"Habis ini kita mau ke mana?" tanya Anna, sesekali menggelitik pinggang sang supir Hamada Asahi.

"Pulang, lah. Memangnya mau ke mana lagi?"

"Yah, kok buru-buru banget, sih?"

"Udah sore, Na. Masa mau keliling semaleman? Dikira kita lagi ngeronda, apa?"

Tak ayal, muka gadis itu lantas tertekuk kecewa. "Padahal aku masih pengen jalan-jalan. Ngobrol sama kamu. Aku di rumah nggak ada temen, paling-paling cuma TV."

Sesungguhnya Hamada tahu jika Anna pasti selalu merasa kesepian. Tapi apa boleh buat? Tidak mungkin Hamada akan tinggal berdua saja dengan Anna dan menjadi gunjingan para tetangga. Pernah sekali, Jessica menawarkan anak itu tinggal di rumahnya. Namun Anna menolak dengan alibi ingin menjaga rumah ayah saja.

Sedikit terhela napas menyendatkan, dari oknum Hamada. "Kamu kalo lagi ngerengek gini, persis kayak Haruto dulu. Kalau udah aku ajak main, pasti nggak mau berhenti."

Kekehan Anna muncul di sela-sela hembusan angin petang. "Iya, lah. Namanya juga sehati. EAK."

"EAK EAK."

"EAKKKK."

"EAKKKKKKKK."

"Gajelas lu, anjir," timpal Anna.

Perjalanan rasanya begitu lambat. Di pinggir jembatan Sungai Han sepeda Hamada sebarang masa menyanggupi diri untuk berhenti, begitu pula dengan raganya dan Anna yang lebih memilih untuk berdiri menatap cahaya senja dari ufuk barat kaki cakrawala.

Angin sore, genangan air yang tampak begitu tenang, lagu dari lalu lalang kendaraan kota, disandingkan dengan warna lembayung di suku awang-awang. Inikah yang disebut hasta karya Tuhan? Indah nan menawan, tidak ada yang bisa mengalahkan. Jantung Hamada berdebar kala sejenak demi sejenak matahari mulai merangkak tenggelam meninggalkan kisah pada manisnya cerita hari ini.

Anna tidak paham jika disuruh menyinggung soal korelasi senja serta langit sore, pula dengan burung Camar yang kini tengah melayang hendak pulang dan berteduh di dalam sangkar. Akan tetapi, melihat Hamada begitu tenang kala menatap mereka, ada satu pertanyaan yang ingin lekas-lekas Anna sampaikan.

[✔] Antologi HamadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang