18. Hakikat Selembar Kisah Lama

147 48 11
                                    

Jangan mengira jika Hamada tengah menghina, memang seperti itulah alamat bila nekat mencintai dia. Pada akhir yang entah kapan kan terjadi, tidak akan ada ruang untuk Kartika tempati. Boro-boro istana, hati Hamada saja tidak sanggup untuk hanya sekadar membangun rumah singgah.

Metafora yang sempurna---kalau kata Kartika---usai rungunya menjajal bisikan Hamada yang menyempal belum lama ini. Dia pun belum mampu untuk menyingkap bibir yang sudah ia rajut erat setelah isakan terakhirnya suah pupus.

Jika memang benar Kartika tidak seistimewa Wendy yang baginya sudah seperti nyawa, maka tidak apa-apa. Kartika ikhlas untuk itu, biarpun hatinya lara dan pilu. Kartika juga tidak bisa menyuruh laki-laki di depannya kini untuk berhenti mengenang masa lalu. Maksudnya, perkara keluarga Hamada yang dari lama sudah tiada.

Di tengah hingar-bingar langit kelabu, mustakanya masih menunduk malu-malu. Tentu saja, mata Kartika pasti kentara bengkak sebab ulah Hamada.

"Maaf."

Satu kata itu meluncur dari lisan seorang laki-laki yang sedari tadi giat membisu. Jujur saja, Kartika tidak masalah mau Hamada menyakitinya sampai hancur, ataupun mungkin menyiksa nuraninya sampai asanya lebur, Kartika tidak peduli. Selagi Hamada bisa melakukan segala cara untuk bahagia, kenapa tidak?

Tidak perlu lagi menghina Uncuk atas sebab ingin memutus rasa Kartika kepada Hamada. Adiknya memang bodoh jika sedikit-sedikit mengungkit perihal cinta, ia rela diperlakukan apa-apa hanya karena pembodohan cinta semata.

"Aku hidup hanya untuk tersakiti dan menyakiti," ungkapnya, mengimbuh.

Kartika tidak lagi menunduk, meski begitu tidak sewajarnya ia langsung memandang Hamada. "Kamu nggak nyakitin siapapun. Salahku, meneteskan tinta di lembar yang sama."

Pelataran sudah sangat sepi. Mungkin, hanya ada Hamada dan Kartika saja di sini. Tumben-tumbenan pula telepon dari Uncuk tidak membuat ponsel Kartika geger. Dan sepertinya dugaan Dobby akan terjadi, mereka segan mengagih maaf hanya karena gengsi.

Pada latar kesenyapan desa, tidak terdengar lagi tangisan Kartika. Hanya ada suara pawana serta gemericik resonansi patera. biarpun suasana asing sudah kadung mendera, tidak menjamin suara Hamada turut sirna, sekarang pun usai ditatap mata Kartika sang Hamada lekas berdiri dan memimpin gadis itu untuk bangkit.

"Malam ini terlalu cerah. Maka, berbahagialah. Kesedihanmu akan membuat bulan menjadi layu," ucapnya.

Kartika sekilas tersenyum, kemudian menyapu air matanya hingga menyisakan jejak di hamparan pipi sana. "Ayo anter aku pulang." Lantas tak lama dirinya bangkit.

"Kamu bilang kamu tidak mau pulang."

"Aku nggak mau pulang karena kamu masih di sini."

"Baiklah, aku akan mengantar kamu."

"Asikkk!"

Mereka melangkah bersandingan, tanpa bergenggam tangan. Biarpun ia baru saja menangis, tapi agaknya mustahil membuat Kartika untuk benci.

Dia bilang, Hamada itu rangkuman dari segala bahagia yang pernah datang. Hamada pula yang membina sedih Kartika untuk segera pulang. Selalu saja ia yakinkan diri bila Hamada suatu masa akan mencoba-coba bermain cinta serta tumbuhkan rasa. Nyatanya, sampai sekarang Hamada masih sama.

[✔] Antologi HamadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang