O7. Ada Berapa Jenis Cinta?

187 72 5
                                    

Pendefinisian oknum berasma Ju Haknyeon itu bisa dibilang, ya ... terlalu simpel. Dilihat dari penampilannya saja sudah bisa menggambarkan diri seorang laki-laki dari zaman baheula, gaya rambut gondrong dengan jambang di selingkar wajah, style berpakaian yang kata orang hanya itu-itu saja; rantai di area pinggang, celana cutbray, sepatu capung yang masih bisa dianggap oke.

Tidak ada yang bisa menghalangi Haknyeon untuk bersandang jadul seperti itu. Lagi pula, semua orang masih bisa menerima gaya Haknyeon tersebut, meski terkadang satu dua gunjingan tak luput menghampiri. Pun, Haknyeon selalu tutup kuping jika saja omongan-omongan tersebut tanpa sengaja menyatroni panca indranya. Memangnya, Haknyeon bisa melakukan apa? Inilah kegemarannya, orang-orang tidak bisa menghalangi apa yang sedang dia kagumi.

Kartika sebenarnya tidak mempermasalahkan, dia juga baru sadar kalau anak itu ternyata mengenakan outfit yang terbilang sangat-sangat ketinggalan zaman. Di lain sisi, apron yang menutupi separuh sandangan Haknyeon menjadikan Kartika tidak bisa melihat begitu jelas, sekolot apa Haknyeon ini.

Kembali pada sebuah perkenalan tadi, Kartika serempak tersenyum, agak canggung. Usai dibacanya buku Kartika meski tidak sampai halaman terakhir---sebab halaman-halaman itu kosong---Haknyeon mengembalikan benda biru itu sambil mengucap terima kasih.

"Buku itu cantik, sama kayak isinya." Eloknya laki-laki itu dalam tersenyum, bagai bunga melati bulan Juni. Seindah itu.

"Yang punya juga cantik." Kartika mulai songong, bahkan rambut belakang yang dia biarkan tergerai sejak tadi ia sibak sampai debu di meja belakangnya saja ikut terhempas.

"Iya, kamu cantik."

Pipi Kartika tidak bersemu kemerahan hanya sebab rayuan semata, tidak pula dirinya tersipu malu seperti gadis biasanya. Ayolah, Kartika ini cantik-cantik tapi pede-nya bisa bikin orang komat-kamit.

Kopi panas masih tersisa banyak, belum setengahnya dia seduh. Hulu yang muasalnya diam, kini menoleh ke sumber lokasi di mana biola bertempat di sana, dengan string agak kusut body cokelat yang tak lagi mengkilap. Sesempurnanya sebuah benda, akan lapuk juga jika sudah waktunya.

"Itu biola siapa?" tanya Kartika sambil menunjuk barang itu. Mungkin usianya sudah sangat tua, itulah mengapa Haknyeon menaruh kaca sebagai pelindung di sekitar biola cantik tersebut.

"Biola punya mama."

"Oh, sekarang udah nggak dipakai?"

"Senarnya putus dari satu tahun yang lalu." Haknyeon berdiri, mengajak Kartika untuk mendekat bersama. Mungkin, gadis itu sangat ingin melihatnya dari dekat. "Indah, kan?"

"Iya. Sangat indah, bahkan waktu senarnya putus aja, nggak ngilangin kesan indah dan antik di sana."

"Pemiliknya ikhlas ninggalin benda kesayangannya ini. Mungkin, yang membuat biola itu indah walau sampai satu tahun sekarang nggak pernah dijamah tangan manusia, sebab pemiliknya meninggalkan dunia dengan perasaan bahagia."

Saat itu juga Kartika langsung membatu di tempat. Dia tidak salah dengar, kan? Apa ibu Haknyeon sudah tiada? Itu menjadi sebuah tanda tanya untuk seorang Kartika.

"A-ah. Maaf."

"Mau aku ceritain tentang dia?" Haknyeon tiba-tiba menawarkan, dibalas gelengan kepala Kartika. Haknyeon tidak bertanya kenapa, sebab, Kartika sendiri yang mau menjawabnya.

[✔] Antologi HamadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang