Bonus Part: Tentang Cinta (Rama PoV)

38.7K 2.1K 139
                                    

"Bagaimana kamu bisa mencintaiku?" 

Pertanyaan itu hanya membuatku tersenyum simpul padanya seraya mengusap wajahnya dengan lembut. Wanita yang telah menjadi istriku. Padahal tak pernah kuimpikan sebelumnya, akan menikah di usiaku yang bahkan belum genap dua puluh satu tahun. 

"Pandangan pertama," jawabku. 

"Jelasin, Ram... Aku nggak puas kalau hanya dua kata itu?" tanya Renata lagi. 

Ya, aku tau dia tak akan puas dengan kalimatku yang pendek-pendek. Walaupun dia memang tak pernah protes. Tapi tentu lain hal jika menyangkut pertanyaan yang serius begitu. 

"Ayo cerita..." pintanya lagi. 

"Nanti kamu bosan," jawabku. 

"Ramaaa... Ngambek nih, tunda ya, malam pertamanya?" tanyanya jahil. 

Ck, Renata. Bukankah tadi dia yang tampak enggan? Kenapa sekarang malah mengancamku dengan hal itu? Tapi kenapa dia tau kalau ancaman itu akan mengerikan untukku? Tentu saja, bagaimanapun aku ini pria normal. Bukannya mudah bagiku untuk menahan diri saat terus bersama dengan wanita yang sangat kucintai. 

"Baiklah," sahutku kemudian. 

Aku berpindah duduk bersandar pada kepala tempat tidur, dan kutarik Renata untuk ikut bersandar di dadaku. Kuusap kepalanya dengan lembut dan kubelai perlahan rambutnya yang masih basah sehabis mandi tadi. Aku tau dia pasti lelah setelah resepsi seharian ini. Seharusnya sekarang kami menikmati malam pertama kami dengan sisa energi yang masih ada. Dan sekarang dia malah meminta hal lain dariku. Tapi kurasa dia memang berhak mendengarnya. 

"Cepetan, Ram!" paksanya lagi. 

"Jangan tidur," ujarku. 

Walaupun aku tau dia takkan tidur. Apalagi dengan debaran jantungnya yang begitu kencang saat ini, yang bisa kurasakan saat tubuhnya bersandar di dadaku. Yah, kuakui aku juga memiliki debaran yang sama saat ini. 

Dia mengangguk antusias dan menatapku penasaran. 

Dan kuceritakanlah padanya, tentang kejadian itu. Saat pertama kali aku melihatnya. Dan langsung jatuh cinta padanya. 

Flashback on 

Aku hanya menatap malas pada benda-benda pameran yang terpajang di sekitarku. Yang semuanya bertemakan pernikahan. Kalau bukan karena paksaan Kak Sania dan juga mama, tak mungkin aku mau berada di sini. Di tempat ramai begini. 

"Dek, yang ini bagus, nggak?" tanya Kak Sania padaku, menyodorkan beberapa contoh undangan pernikahan dengan warna-warna yang cerah. 

Aku mengulurkan jempol dengan malas kearah kakakku itu. 

Kak Sania mencebik dan menggelendot pada lenganku. 

"Bagusan yang mana, dek?" tanyanya lagi. 

"Semua bagus," jawabku tanpa benar-benar mempertimbangkan. Katakanlah kalau aku ini apatis, toh aku memang tak peduli. 

Kudengar Kak Sania mendengus keras sebelum dia menghempas tanganku dengan sebal. 

"Percuma ke sini sama kamu. Nggak bisa dimintain pendapat!" gerutunya seraya kembali melihat-lihat entah apa yang dipajang di sana. 

"Siapa suruh nggak ajak Kak Nino?" tanyaku. 

Dia ingin menikah dengan Kak Nino, kenapa malah aku yang harus menemaninya berbelanja persiapan pernikahan mereka? 

"Kamu kan tau sendiri, Kak Nino lagi sibuk sekarang. Sementara kakak off di rumah sakit. Sayang kalau waktu nggak dimanfaatkan..." jawabnya. 

Sweet Sugar BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang