FIONY

97 11 2
                                    


Sepanjang perjalanan selama 30 menit hanya di isi oleh suara musik pujian yang Aran putar dan kesibukan Fiony dengan ponselnya. "Kamu hari ini kerja kelompok dimana?" Aran mencoba membuat hangat suasana. "Di rumah Freya." Fiony hanya menjawab singkat dan masih fokus dengan handphonenya. "Kamu nanti malam ada waktu ga? Aku kangen nih pengen makan di luar sama kamu mumpung besok weekend."

"Sorry sayang, aku udah ada janji sama Freya dan Yori buat sekalian main." jawab Fiony dengan menunjukkan muka melasnya. Aran tersenyum gemas dengan tingkah Fiony yang dia tunjukkan. "Iya udah ga masalah kan kita masih ada waktu setidaknya sampai sebelum ujian." Aran mengelus rambut Fio dengan penuh kasih sayang.

Fiony tidak munafik, dia merasakan ketulusan dari seorang Aran. Namun, dia juga mulai bosan dengan sifat Aran yang hanya lurus saja tanpa tantangan. Fiony menginginkan sesuatu yang seru seperti pasangan yang lain, main sepuasnya dan ke tempat yang diinginkan tanpa perlu izin dulu. Aran terlalu monoton sehingga membuat Fiony mulai bosan setelah tiga tahun menjalin hubungan dengannya. Aran bukanlah manusia yang sempurna dan mempunyai kekurangan. Entahlah, itu sebuah kekurangan atau kelebihannya Aran. Namun, jika dilihat dari sudat pandang Fiony, itu adalah sebuah kekurangan. Padahal Aran selalu menjaga Fiony dengan baik.

"Kalau minggu bisa ibadah bareng ga? Sekalian aku juga mau ngomong sesuatu nih sama kamu." Fiony berpikir sejenak, kemudian menganggukan kepalanya. Aran tersenyum setelah mendapatkan iya dari Fiony. Mereka memasuki kelas masing-masing.

"Woy browh, bucin banget lu!!" Ollan meneriaki Aran yang baru masuk kelas.

"Yo, berkaca pada kaca bareng Lan." Aran membalas ledekan Ollan dengan tawa khasnya. Mirza dan Cornelio ketawa mendengar balasan Aran ke Ollan. "Mampus lu, Lan!!" Ollan menimpuk Mirza dengan buku sejarah yang pasti tebal itu. Aran hanya menggelengkan kepala melihat tingkah laku temannya yang absurd.

Diantara ketiga temannya, Aran adalah adalah orang yang memiliki kadar ke absurdan yang kecil. Selama kelas, Aran hanya fokus mendengarkan apa yang dijelaskan gurunya. Mendiskusikan hal-hal kecil dengan kelompok yang sudah dibentuk oleh gurunya untuk membahas pelajaran sejarah.

"Kok sejarah yang ada di Bumi Manusia ga ada ya selama sekolah ini?" Aran menggaruk kepalanya yang tidak gatal itu. "Ya namanya sejarah, sejarah itu ditulis sama penguasa, jadi ya so pasti sejarah mengikuti masa siapa yang berkuasa!!" Jelas Ollan yang mengundang keributan di kelompoknya.

"Wihhhh!!!" seru Aran, Mirza, dan Cornelio secara bersamaan membuat seisi kelas menatap heran ke arah mereka. "Maaf pak, tadi ada sedikit masalah." jelas Aran kepada gurunya yang hanya menatap seram.

"Masalah apa?" tanya gurunya.

"Si Ollan Pak, dia bisa berpikir ternyata. Saya kira selama ini otaknya ketinggalan di kasur." ucapan Mirza sontak membuat teman-temannya ketawa. Guru sejarahnya hanya menggelengkan kepalanya tidak habis pikir. "Sudah-sudah, ini kan sebentar lagi akan ujian, berhubung sekolah kita mempunyai sistem pendidikan sendiri, kita akan mengadakan ujian sebelum ujian nasional berlangsung. Jadi, bapak harap kalian harus mempersiapkannya dengan baik." setelah mengucapkannya, guru sejarah tersebut berpamitan dan meninggalkan kelas.

Aran melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 11 siang. "Woy Mir, lu kaga sholat Jum'at? Sholat Jum'at gih, kan lu sholatnya seminggu sekali." Jawab Aran yang meledek Mirza. Ya, Mirza muslim sendiri diantara empat temannya.

"Lancar bener tuh bibir kalau ngomong. Eh sebelum gue ke masjid, gua mau nantangin lu pada."

"Apa nih?" Cornelio mulai menatap serius Mirza, begitupun Aran dan Ollan.

"Kita main ludo terus taruhan."

"Taruhannya apa, lama banget kalau ngomong." Ollan tidak sabar menunggu Mirza.

"Eh sabar dong maemunah, orang sabar di sayang Allah SWT." jawab Mirza sambil mengadahkan tangannya.

"Beda server anjir." Aran menggelengkan kepalanya dan memukul bahu Mirza pelan.

"Widih A-word xob, ati-ati banyak kamera." temen-temen Aran mengejeknya karena jarang sekali Aran mengucapkan kata-kata tersebut.

"Oke, taruhannya yang kalah pindah agama."

"Gila lu, dah lah gua ruqiah aja lu sini." Cornelio menarik kepala Mirza kemudian mulai berdoa sesuai agamanya.

"Makin kaga bener, udah sana lu sholat Jum'at Mir. Cape gue ngeliat lu di sini mulu." Mirza pun melangkah keluar menuju masjid untuk ibadah.

"Eh Ran, lu nanti malem pergi kaga ama Fiony?" mereka bertiga berjalan menuju kantin sekolah. Aran hanya menggelengkan kepalanya. "Bagus, berarti waktunya kita buat main ya kan, Freya juga kaga bisa soalnya dia mau ada acara keluarga."

"Bukannya dia mau belajar kelompok sama Fio dan Yori?" Aran bertanya balik ke Ollan. "Eh bentar, pesen makan dulu gih Nel, gua pesen Bakso terus kasih boraks atau formalin biar baksonya tahan lama di perut gua." Perintah Ollan setelah mereka duduk di salah satu meja kantin. Cornelio memukul pelan kepala Ollan, "Enak aja lu, gue kasih racun tikus sekalian biar lu kenyang selamanya, lu pesen apa Ran?" ujung-ujungnya Cornelio yang pesen.

"Makanan yang bikin kenyang dan sehat Nel."

"Apa, jangan bikin gue bingung deh lu."

"Nasi sop ayam mati sama salad buah ya, buahnya metik dulu dari pohonnya biar seger." jawab Aran yang membuat Cornelio bener-bener ingin mengubur temennya hidup-hidup.

"Jadi gimana tadi, Ran?" tanya Ollan setelah perkara pesan makanan selesai.

"Tadi aku kan ngajak Fio buat main karena besok weekend, tapi dia nolak bilangnya udah janji main sama Freya dan Yori." Ollan menatap Aran heran mendengar penjelasan yang terlontar.

"Kaga anjir, Freya ada acara keluarga terus Yori juga pergi sama Kakaknya ke Bandung." Aran hanya diam mendengarkan penjelasan dari Ollan dan mulai berpikir positif, mungkin Fio belum mendapatkan kabar soal Freya dan Yori yang punya acara masing-masing.

"Wah ada yang aneh nih, gua curiga kalau Fio main di belakang lu."

"Jangan negatif gitu Lan, mungkin Fio lupa atau belum dikabarin kalau Freya sama Yori punya urusan."

"Gila ya, lu masih aja berpikir kaya gitu. Udahlah bodo amat, susah ngomong sama lu. Intinya nanti malem kita main ke Time Zone, okey?" Aran menganggukan kepalanya.

Cornelio datang dengan pesanan mereka yang diantar oleh pengurus kantin sekolahnya. "Si Mirza kaga dipesenin makan?" tanya Cornelio setelah duduk dan mengucapkan terima kasih ke pengantar makanan. "Udah kaga usah mikirin, dia pasti udah makan dari nasi kotak di masjid." celetukan Ollan membuat Aran dan Cornelio tertawa.

Mereka makan dengan khimat. Makanan tersebut adalah sebuah anugerah yang Tuhan kasih jadi tidak mungkin jika Aran harus menyisakan makanannya. Menjadi berkat tersendiri bagi Aran untuk bersyukur mengingat masih banyak yang tidak dapat makan seperti dirinya. Ayahnya selalu mengingatkan dirinya jangan menyia-nyiakan apa yang Tuhan berikan. Hal tersebut selalu Aran jalankan dan kadang mengingatkan ketiga sahabatnya.

Setelah rutinitas makannya selesai, Aran dan kedua temannya kembali ke kelas untuk menyiapkan keperluan rapat klub pencinta alam yang didirikanya sewaktu kelas satu. Naik gunung adalah salah satu healing yang terbaik baginya. Dia dapat mempelajari bahwa semesta ini begitu indah dan membuatnya dirinya menjadi lebih tenang. Udara segar dan jauh dari hiruk pikuk kota membuat jiwanya kembali mendapatkan ketenangan. Satu yang paling penting, Aran menjadi lebih mengakui kebesaran Tuhan yang begitu hebat menciptakan alam semesta. 

NISKALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang