Lukisan Masa Lalu

14 6 5
                                    

Aku menyeka peluh di dahi, membawa seplastik besar berisi roti, mie, nasi instan dan lain-lain. Matahari panas membara, membuat keringat bercucuran selagi berjalan. Sedikit kerepotan. Satu dua berhenti, memperbaiki posisi ransel yang bergeser, atau makanan yang menyembul dari balik mulut plastik, nyaris terjatuh. Memperbaikinya, lantas kembali berjalan pulang.

Setelah pulang dari ruangan pertanyaan yang menyebalkan, dan berhenti sejenak menatap pucuk pepohonan, aku berbelok menuju supermarket. Membeli banyak makanan. Aku tahu akan terjadi hal buruk akibat nilai ulangan tadi, setidaknya selama tiga-empat hari kedepan. Maka, ada baiknya bagiku menyediakan stok makanan. Seperti sebuah peraturan tidak tertulis di rumah : Jika membuat kesalahan sampai membuat ibu mengamuk, jangan pernah berharap ada makanan di atas meja. Itu sudah kuhafal baik-baik. Rumus bertahan hidup di rumah ketika suasana tengah tegang.

Tidak hanya makanan, ibu juga akan mengambil uangku biasanya. Hasil kerja kerasku bekerja paruh waktu akan kandas selama satu menit. Lebih baik segera saja kuhabiskan. Karena ibuku tak pernah tahu aku punya stok makanan satu lemari penuh di kamar. Yang penting itu kan, ketimbang uang? Toh, pintu kamarku paling-paling juga dikunci.

Ibuku bekerja, entah dimana. Aku tak pernah iseng bertanya. Lagi-lagi berhitung dengan resiko. Kami hanya tinggal berdua. Di sebuah rumah yang cukup sempit, namun nyaman. Selain karena aku adalah anak tunggal, penyebab lain kenapa kami hanya tinggal berdua adalah karena Ayah meninggalkan kami. Bersama wanita baru. Sejak itu, Ibu memutuskan pergi menjauh dari semua luka. Menarikku tinggal bersamanya.

Umurku baru sepuluh tahun saat itu, tak mengerti banyak hal. Bertanya keheranan kenapa kita membawa pergi semua barang. Bertanya lagi kenapa kita naik taksi, pergi jauh dari rumah. Bertanya kenapa Ayah ditinggal, kenapa ada seorang perempuan baru tadi? Wajah polosku saat itu menyelidik ingin tahu. Menjulur ke depan.

Ibu tak menjawab, hanya menutup wajahnya. Menenggelamkannya ke dalam tangkupan wajah. Menggeleng. Menahan tangis. Mata hitam bundarku membesar, keheranan. Bertanya hal lain. Ibu, kenapa pertanyaanku tidak dijawab? Ibu, kenapa ibu diam dan menggeleng? Supir taksi yang mendengar rentetan pertanyaanku hanya bisa menghela napas.

Tujuan kami sampai setelah satu jam perjalanan berikutnya. Supir taksi berbaik hati mengajakku berbincang. Bertanya sekolahku, teman-temanku dan lain-lain. Memalingkan perhatianku dari ibuku. Aku antusias menjawab, bercerita. Melupakan ibu yang masih terisak pelan. Supir taksi bahkan juga memberiku sebungkus permen saat itu. Entah kenapa detail kecil seperti itu seperti memiliki goresan tersendiri, di lukisan masa lalu.

Kami sampai di sebuah rumah kecil, kumuh, kotor. Aku menelan ludah, menatap ibu yang masih bicara dengan supir taksi baik hati. Ini, rumah apa? Kenapa kesini? Itu benakku saat dulu. Setelah berkali-kali mengucapkan terima kasih, ibu meraih tanganku lembut. Mengajakku masuk. Aku awalnya menolak, berontak tidak suka. Tapi, demi melihat wajah ibu yang lelah dan sembab, aku kecil itu takut-takut menurut.

Rumah itu kotor sekali, debu menumpuk, saking tebalnya meninggalkan bekas jejak kaki saat kami melangkah. Rumah ini juga kosong, tidak ada parabotannya selain sebuah lemari tua yang lapuk dimakan rayap. Pojok-pojok dindingnya penuh dengan sarang laba-laba. Bahkan, banyak lubang-lubang kecil di dinding. Bulu kudukku merinding membayangkan hewan-hewan pengerat kecil akan keluar berlarian dari situ. Entah berapa lama rumah ini sudah tidak terawat.

Gelap, remang. Entah dimana jendelanya, bisa terbuka atau tidak. Cahaya matahari senja yang bersinar terang diluar sana tidak bisa menembus apapun. Meninggalkan bayangan rumah tua. Pintu depan yang terbuka lebar tidak memberikan cahaya yang cukup untuk ruangan di dalamnya.

Ibu tersenyum, merangkul pundakku. Jongkok, menyamai tinggiku. Aku menangis, takut. Ibu tersenyum, menggeleng, mengusap lembut pipiku, bilang kita akan baik-baik saja. Rumah ini hanya kotor, perlu dibersihkan dan sedikit renovasi. Aku menggeleng, masih menangis, tidak mau, aku ingin kembali kesana. Ibu mengehela napas berat, mengatakan hal yang selalu ku ingat.

That Summer Is SaturatedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang