Malam Hujan Musim Panas

46 14 23
                                    

"Kemarin aku membunuh seseorang."

Di tengah guyuran deras hujan musim panas, awan kelabu gelap mengambang di langit kota. Rintiknya jatuh menghujami tubuhnya yang jatuh terduduk. Terisak, menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. Tergugu di depan pintu rumahku. Mengatakan fakta yang membuatnya ketakutan, berlari mencari tempat yang menurutnya aman.

"Dia selalu menindasku. Aku muak, lalu aku dorong bahunya." Suaranya terdengar bergetar, "Tapi ternyata tempatku mendorong buruk. Dia terjatuh dari lantai empat." Ia menangis lebih keras, intonasi menyesal kental sekali terdengar.

"Dia meninggal di tempat, bahkan sebelum aku datang meminta maaf. Tubuhnya tergenang darah begitu saja." Ia terisak, patah-patah dengan sesenggukan bercerita hal yang sebenarnya tidak kuminta. Yang aku tahu, ketika aku tiba di atap lokasi kejadian telah ramai.

Aku diam, tak berkomentar. Wajahku datar, sedikit berkerut kaget. Antara dua hal, tak menyangka bahwa temanku ini membunuh seseorang atau takjub dia bisa bertindak, melawan. Ia semakin terisak, berteriak-teriak histeris seperti orang gila. Beruntung debum rintik air menutupi suaranya. Layaknya orkestra, mengiringi isak pilunya.

Ia mendekat, memeluk kakiku. Aku terpaku, tak bepindah walau semili. Tidak. Wajahku tertunduk, menatap kepalanya yang basah. Rambutnya yang mengkilap terkena cahaya lampu. Menenggelamkan tangisnya di betisku, merasa bahwa itu sudah tempat yang aman. Layaknya anak kecil, kembali menangis sejadi-jadinya.

Aku tetap diam, tak bereaksi. Tidak berbaik hati berjongkok, memeluknya, mengusap kepalanya. Tidak juga jahat menendangnya, mengusirnya, menghardiknya pembunuh. Sisa-sisa amukan ibuku masih terngiang-ngiang. Langit masih gelap, ikut menumpahkan tangisnya bersama gadis yang masih memeluk betisku. Angin malam bertiup kencang, membawa beberapa bulir menerpa wajah datarku. Petir terlihat berkilat-kilat, Guntur menggelegar.

Sekali lagi, aku masih terpaku. Tangisnya mereda, ia melepas pelukannya. Beranjak berdiri, menyamai tinggi kami. Mengusap wajahnya, menyeka air matanya. Kali ini, aku dapat melihat wajahnya lebih baik. Sorot mata yang ketakutan, liar mencari tempat bersembunyi. Mulut yang tak henti-hentinya menahan isak yang sepertinya kan kembali meledak. Hidung yang tersendat, terlalu banyak menangis. Wajahnya yang sayu, garis kesedihan seakan muncul sejuta larik.

Aku merogoh kantungku, mengambil sapu tangan. Memberikannya tanpa ucapan, maupun tatapan. Ia menoleh, mata ketakutannya menatapku. Aku seperti patung, tak memberi respon apapun. Mataku kosong, wajahku datar, tangaku terjulur masih dengan sapu tangan putih yang bersih. Mulutnya terkatup sejenak, setelah gemetar. Senyum tipis terlihat di wajah pucatnya, berkata terima kasih. Mengambil sapu tangaku, membersihkan wajahnya dengan lebih baik.

"Aku akan pergi." Suaranya serak, sengau. Aku diam, menunggu kalimat selanjutnya. Wajahnya mendongak, menatap gumpalan kelabu yang mulai mereda, meninggalkan rintik kecil gerimis.

"Aku sudah tak memiliki tempat disini, sekali pihak keluarga mereka tahu, mereka akan menghubungi polisi. Aku akan ditangkap." Kalimatnya kembali terhenti, air mata kembali mengalir di pipinya yang sebelumnya kering.

"Aku akan pergi sejauh mungkin, meninggalkan kota ini, meninggalkan kehidupan yang menyedihkan ini." Ia tersenyum tipis, seakan itu adalah hal yang biasa saja untuk dikatakan. Bahkan bisa jadi membahagiakan baginya.

"Setelah pergi, aku akan mati disana. Mati di tempat yang sepi, tanpa siapapun tahu, tanpa siapapun peduli." Senyumnya mengembang, sekaan itu adalah hal paling membahagiakan yang pernah ada. Sejenak sorot ketakutannya menghilang, terganti dengan berbinar-binar. Mengangguk-angguk, mempersiapkan rencana konyol.

Aku benar-benar seperti patung, menatapnya tanpa ekspresi, tanpa garis wajah yang terganti-ganti. Menatapnya yang tengah jemawa memuji ide hebatnya barusan. Lupa kalau lima menit lalu dia tengah terisak, menangis histeris.

Matanya kembali menatapku, sorot kesedihan tersingkirkan disana, menyembul di pojok maniknya. Terganti dengan pupil yang membesar, berbinar-binar.

"Aku akan pergi besok, meninggalkan semuanya." Ia tersenyum, pamit yang indah sekali.

"Kalau begitu, biarkan aku ikut denganmu."

Tanpa sadar, aku mengatakannya. Merespon setelah diam seribu bahasa. Seakan ada jiwa lain yang mengambil alih tubuhku sepersekian detik, membuatku mengatakannya. Kalimat itu meluncur saja. Wajahku sepertinya tengah kebas. Sungguh, dalam kepalaku tak ada reaksi apapun ketika aku memintanya mengizinkanku ikut.

Ia terperangah sejenak, lalu segera tersenyum. Tangannya mengepal keatas. Bersorak ria, menemukan teman seperjalanan untuk meninggalkan semuanya.

"Kau benar-benar ingin ikut?" Ia bertanya memastikan, alisnya terangkat satu. Senyum masih menghiasi wajahnya, garis lesung pipit timbul di pipinya. Wajah yang sebenarnya cantik, hati yang sebenarnya hangat, pribadi yang sebenarnya menyenangkan dan peduli, tertutupi oleh kejamnya hidup. Membuat redup semua cahayanya, kabut menutup semua pesona hebatnya.

Aku mengangguk, sungguh-sungguh. Meski tanpa ekspresi, wajahku datar macam lantai ubin. Rata. Gadis tanpa ekspresi ini ingin ikut, ingin meninggalkan semuanya juga. Boleh kan? Hatiku memohon, walau mulutku terkunci rapat.

Ia tertawa kecil, bahkan dia masih bisa tertawa sekarang. Garis sendunya samar, terganti dengan wajah senang yang mudah hilang. Mengangguk-angguk senang.

"Kalau begitu, aku akan menunggumu pukul tiga pagi. Di taman dekat pinggiran kota, bagaimana?" Ia bertanya, memberi pilihan.

Aku mengangguk, tak pula berkomentar soal jam yang terkesan tidak masuk akal.  Lagipula aku tidak ada gambaran akan seperti apa perjanan 'hebat' ini.

Ia kembali tersenyum, senyum yang sama dengan yang ia berikan padaku pagi tadi. Wajah nya yang cerah seperti matahari pagi seakan bersinar di gelapnya malam.

"Baiklah, kau setuju. Jangan lupa membawa perbekalan secukupnya. Tidak perlu bawa album foto, catatan lama atau apa. Kita akan meninggalkan semuanya."

Aku mengangguk, tanpa diberi tahu aku juga tahu hal itu. Lagipula, siapa yang akan bersusah-susah ber-nostalgia sebelum meninggalkan semuanya? Tidak, terima kasih.

"Kalau begitu sampai jumpa, Cean. Kita akan memulai perjalan kita besok."

Ia menyebut namaku, bukan panggilan istimewaku. Ia sudah berlari-lari kecil. Antusias menyambut perjalanan esok. Punggungnya hilang dibalik keramaian jalan yang tak mengenal waktu. Sejalan dengan perginya gadis itu, awan kelabu juga menghilang. Perlahan meninggalkan langit malam kota, membuat bulan sabit tergantung di luasnya cakrawala.

Kisah tentang musim panas ini, resmi dimulai.

Dan kelak, kenangan ini akan terus terulang di pikiranku. Menjenuh di sudut kosong ruang kepala. Menjadi sesuatu yang aku sesali.

Kelak. Nanti.

Aku belum menyadarinya sekarang.


Meng-hai lagi, hehe
Semoga kalian suka deh :"

Vote, vote, vote
Jangan lupa

//bingung mau ketik apa lagi

That Summer Is SaturatedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang