Jakarta, tahun 2005.
Pusara kau masih tampak bersih seperti biasanya, tetapi namamu yang tertulis diatas nisan telah memudar, terhapus waktu.
Ribuan penyesalan masih membungkusku. Menyesali keegoisanku. Menyesal karena tidak memercayai cinta. Menyesal karena telat memahaminya. Dan penyesalan lainnya yang tak berujung.
Mengungkit semua itu tidak akan mengembalikan waktu, bukan?
Mungkin saat ini adalah waktu yang tepat untuk mengucapkan maaf. Tak tahu kapan waktu akan mempertemukan kita kembali.
Hari ini kali terakhir aku berada di Jakarta. Beberapa jam lagi aku harus pergi ke bandara. Beberapa jam berikutnya aku akan tiba di negeri dengan julukan der panzer. Jerman.
Bukan untuk wisata. Tepatnya melanjutkan studi lanjutan untuk meraih gelar magister. Kau tahu, disanalah ilmu Psikologi terlahir. Tepatnya di kota Leipzig.
Perasaan senang dan sedih membuncah dalam diriku.
Aku tidak pernah menduga kalau mewujudkan impianku itu harus dibayar dengan harga yang sangat mahal, hingga aku menyadari kalau nasi sudah menjadi bubur.
Tak bisa memutar kembali arus waktu yang telah berputar. Pun tak bisa menghentikannya.
Ini semua bukan perkara biaya. Harta. Dan materil lainnya.
Tidak ada hal yang lebih bernilai di dunia ini selain mendapatkan cinta dan kasih sayang dari orang yang terkasih.
Tetapi semua sudah terlambat.
"Maafkan aku, Ayah. Aku berjanji akan lebih merawat diri. Kau tidak perlu mengkhawatirkanku lagi, oke?" aku bergumam didepan pusara dia.
Seperti déjà vu. Aku pernah mengucap janji yang serupa kala itu. Berulang kali bersumpah, berulang kali ku langgar. Tanganku sibuk meremas-remas setangkai mawar merah, merasa kesal, hingga tidak sadar kalau telunjuk sudah berdarah, tertusuk duri.
***
Sembilan tahun lalu.
Bagi sebagian orang mungkin berharap untuk bisa menjadi orang super tajir. Memiliki rumah besar. Puluhan mobil tersusun rapih di garasi dengan brand ternama di dunia. Memiliki helikopter pribadi sehingga tidak perlu repot-repot bermacet ria di jalan protokol Ibu Kota.
Tetapi tidak denganku.
Harapanku hanya satu. Pergi sejauh mungkin meninggalkan rumah ini. Sederhana, bukan?
Sebut aku anak durhaka. Anak kurang ajar. Anak tak tahu diri. Sebut semua hal buruk itu padaku!
Kalau kau mengidap penyakit yang membuatmu berada di ambang kematian. Dijauhi anak-anak sebayamu tanpa sebab. Selalu dikasihani oleh orang-orang hanya karena penyakit. Dan tinggal bersama Ayah yang keras kepala.
Untuk sekali saja. Maukah bertukar nasib denganku?
Rumahku bagaikan neraka. Kau mungkin tidak akan tahan selama lima menit didalam sana.
Bertengkar dengan Ayah. Hari ini. Esok. Dan seterusnya. Setelah itu aku melampiaskan amarahku di kamar, membanting benda apa saja yang bisa dibanting. Lalu Ibu selalu datang untuk memberikan nasihat yang tidak berguna kepadaku, "Sudahlah. Kau yang sabar ya. Kau harus kuat!"
Itulah rutinitasku. Hampir setiap hari seperti itu, mungkin hanya tingkatan pertengkaran kami saja yang bervariasi. Kadang di level 1 (pertengkaran biasa, hanya melibatkan adu mulut), hingga level 5 (perang besar, kekacauan). Indahnya menjadi diriku, bukan?
Tak seorang pun bisa mengemukakan pendapatnya di hadapan Ayah. Termasuk Ibu.
Aku hanyalah korban. Tidak tahu siapa yang harus disalahkan. Kebanyakan aku yang lebih sering disalahkan oleh Sang Penguasa Rumah. Ayah.
Semua kehidupanku selalu diatur. Dari bangun tidur hingga kembali tidur. Dia sepenuhnya berkuasa atasku. Bahkan dia menetapkan waktu tidur untukku. Pukul 9 malam.
Dan umurku kini 18 tahun. Menyenangkan, bukan?
"Bagaimana perkuliahan pertamamu hari ini?" Tanya Ayah dengan ekspresi datar.
"Baik." Balasku singkat. Tidak berselera. Masih sibuk menyantap masakan Ibu. Tumis buncis dan telur urak-arik. Lezat!
Malam ini bulan tampak menyenangkan. Gemintang ikut menghiasi langit Ibu Kota.
Sayangnya, keindahan langit malam tidak seindah suasana makan malam ini. Ayah sibuk mengoceh tentang sekelibat aturan yang tidak dan boleh aku lakukan selama menjalani kehidupan sebagai mahasiswa baru. Dari sekian aturan yang ia sebutkan, kebanyakan berisi tentang larangan yang tak boleh aku langgar.
Rasa-rasanya aku tidak sedang tinggal di rumah. Tapi asrama!
"Pokoknya kau jangan ikut orasi mahasiswa, atau kegiatan lainnya yang membuang-buang waktu. Apalah itu semua, tak penting!"
Aku hanya mengangguk.
"Perhatikan kesehatanmu itu. Paham?"
***
Selepas makan malam biasanya Ibu menyempatkan diri untuk datang ke kamarku. Disaat itulah terkadang aku sisipkan pembicaraan santai dengan Ibu. Sekali dua merajuk, membicarakan Ayah, si Tuan Keras Kepala. Setidaknya aku bisa bebas mengekspresikan perasaanku.
Mungkin ini kelebihan menjadi seorang perempuan.
Perempuan lebih terkenal peka terhadap perasaan orang lain, terutama pada sesama perempuan. Berbeda dengan kaum lelaki yang selalu menganggap kekuatan otot adalah segalanya. Itulah mengapa mereka selalu hobi untuk berolahraga. Semata-mata demi membesarkan massa otot.
"Ibu tahu kau sudah jenuh dengan sikap Ayah. Tapi tolong ikuti permintaannya, ya? Demi Ayah. Demi Ibu. Demi kesehatanmu." Ibu sibuk menjawil kepalaku yang kini bersandar di pangkuannya.
"Aku bisa jaga diri kok, Bu. Lagi pula, 'kan ada Ivana. Pasti semuanya aman dan terkendali. Percaya deh!" sahutku.
Tak ada jawaban.
Ibu menggeser posisi kepalaku dari pahanya. Bangkit, lalu mengambil sebuah mangkuk yang berisikan aneka obat berwarna-warni. "Kita sudahi pembicaraan ini. Jangan lupa minum obat ini, Liany," ucap Ibu.
Aku menghela napas. Hanya bisa menatap pasrah.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Law Of Psychology
RomansaBila saat itu tiba. Aku hanya ingin berpesan pada diriku. padamu. dan dia. Terima kasih karena telah berusaha membuatku untuk yakin bahwa cinta bertahta diatas segalanya. Dengan usiaku yang hanya seumur jagung, setidaknya aku bisa merasakan setitik...