Chapter 01 ♡

4.1K 153 0
                                    

Daerah distrik sangat ramai menjadi background awal untuk halaman baru.
Mirip seperti wilayah tokyo ketika banyak warga lokal dan wisatawan berada di satu tempat yang sama, penuh sesak hingga sebagian besar diantara mereka saling bedempetan. 

Melupakan masa lalu kelam, kini saatnya kehidupan yang lebih baik dibangun.

Lebih baik?

Tidak juga, namun tak lebih buruk dari tahun-tahun sebelumnya. Setidaknya tak ada perang antar ras dan pemandangan mengerikan lain disini.

Para pelancong, pedagang, pelacur, dan penduduk asli hingga wisatawan terlihat sibuk berinteraksi satu sama lain. Jangan bayangkan disini adalah distrik yang bersih, nyaman dan teratur. Jangan bayangkan pula sebuah gang kotor berlumut dan sampah dimana-mana. Hanya sedikit kusam, kumuh di beberapa titik dan 'kebebasan'. 

Sebagai contoh jika sebuah kost khusus perempuan adalah daerah yang teratur karena banyak peraturan norma, kost lelaki adalah perkotaan dimana ada yang tertib dan tidak, sedangkan kost bebas adalah distrik ini. Wilayah dimana nyaris tak ada aturan norma. Banyak pencurian, kekerasan, dan tindak kriminal lain yang bahkan membuat pihak hukum kewalahan menangani.

Penegak hukum saja takut dengan bringasnya orang disini.

Meski begitu tak sedikit wisatawan dipandu dengan orang berpengalaman berkunjung setiap harinya.

Sedikit sulit mencari toilet bersih gratis, agak sulit menemukan fasilitas nyaman di distrik tapi mudah mendapat 'hiburan'. Ya, hiburan semacam itu sangat mudah ditemukan hingga tak sedikit brosur lengkap dengan foto budak nafsu beserta tarif. Biasanya mereka menghitung berdasarkan pengalaman dan jam pelayanan.

"Ay ayy, permisi permisi. Minggir dulu." Ujar seorang wanita bersama dua lelaki di kedua sisi, terlihat setengah mabuk. Kemana mereka akan pergi? Jelas menuju 'tempat pelayanan'. Kamar sewaan.

Meja bartender kurang lebih kek gini. Visualnya lumayan dark dan low light. Meski begitu koleksi anggurnya jangan ditanya, pemilik bordil punya selera yg bagus.

"Hei nak, ambilkan tiga botol untuk kamar nomor 17. Bawakan juga es batu di gelas." Ujar seorang pria paruh baya kepada seorang lelaki muda, terlihat agak canggung. Mendengar itu lelaki ini cepat-cepat menuju gudang untuk mengambil pesanan lalu mengantarnya ke tempat pelanggan, di lantai dua.

Kedua kaki kurusnya terlatih membawa tiga botol alkohol dan segelas es batu sekaligus. Dia terbiasa melakukan ini, sudah bertahun dia hidup begini.

Lelaki muda ini biasanya berangkat jam 7 malam dan kembali ke hunian sewa pada pagi hari. Bekerja sebagai pelayan sebuah rumah bordil namun hampir setiap pulang dia muntah tak tahan bau alkohol. Sangat menyengat disana. Belum lagi jika ada pelanggan bertubuh gempal banjir keringat. Jangan ditanya baunya seperti apa.
Tempat itu sempit membuat satu orang dengan yang lain mampu mencium aroma tubuh lawan bicara.

Belum lagi jika terdengar desahan dari lantai atas dan ruang belakang.

Bagaimanapun ini rumah bordil, rumah prostitusi yang legal di distrik. Lazimnya bordil tak menyediakan alkohol dengan berbagai varian tapi inilah yang menjadi alasan pemilik berani memulai usaha. Ia membuka bordil dengan banyak pelayan wanita muda ditambah puluhan varian alkohol dari berbagai merk yang jarang ditemui di rumah bordil pada umumnya.

Jika ditanya, lelaki ini akan menjawab "Pekerjaan ini menjijikkan." Tapi dia tak punya pilihan. Untuk saat ini, bekerja sebagai pelayan minum di rumah bordil cukup menjanjikan untuk hidup.

"Hoeekkk, uhuk!"

Perutnya terasa dipelintir sekarang.

Merasa sedikit lebih baik, lelaki ini berkumur, sikat gigi lalu merebahkan diri di kasur yang tak layak disebut kasur. Sangat keras.

LULLABY FOR HAZELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang