Chapter 05 ♡

3K 153 0
                                    

Aduhhh gak sabar Luz×Hazel moment😭😭😭

Jujur beraaattt nulis uke harus nikah sm cwe, harus bareng terus & ngalah. Padahal mereka sama kan.... 😔😔

Sama" dimasukin.. EHH ☠☠☠

Tapi tunggu bentar, ini belum ending.

--------------------

Sidang perceraian dilakukan!

Beberapa minggu tak bertemu lelaki misterius itu, kini Hazel berada di luar kota bersama seorang pengacara dan keluarga Amber.

Mereka sungguh akan berpisah.

Setidaknya jika sudah besar, anak Amber bisa mengaku jika Hazel adalah ayahnya meski faktanya tak begitu.

Amber memenangkan hak asuh dan memang begitu seharusnya. Sebenarnya Hazel diwajibkan tetap memberi nafkah meski sudah bercerai tapi orang tua Amber mengaku jika suami anaknya ini miskin. Mereka bicara bahwa untuk hunian dan makan saja suami Amber ini masih menumpang.

Padahal memang itu kesepakatan sebelum menikah.

Sebelum menikah, Hazel memang dijanjikan diberi hunian dan makanan setiap hari tapi dia harus sudi mengaku anak yang dikandung Amber adalah anaknya.

Menjijikkan.
Kedua orang tua dan sang pengacara membela Amber habis-habisan, mereka banyak menyangkal fakta. Amber ingin membela Hazel tapi mulutnya dibungkam dengan pembelaan palsu, alhasil nama Jeff sangat tercemar di pengadilan.

Tapi dia tak peduli.

Hazel persetan dengan nama baik atau apapun itu. Bahkan jika tak lagi bisa bertemu Amber, ia tak keberatan!

Yang dia pikirkan hanya bagaimana caa melanjutkan hidup setelah ini.

Selesai. 

Masalah dengan Amber berakhir setelah 2 tahun tekanan batin dan fisik.

☆☆☆

Kembali ke kehidupan default, kini ia sepenuhnya pindah ke kamar kost kecil sedikit jauh dari rumah bordil.

Ahhh sangat flat dan membosankan. Hazel bekerja malam sampai pagi, pulang ke kost lalu tidur sampai siang kemudian mencari lauk untuk makan. Kadang kalau malas keluar ia akan memasak seadanya seperti sup atau makanan instan.

Kenapa di kost? Apa ini hunian yang dimaksud pelanggan lelaki itu?

Jelas bukan.

Sejak malam itu Hazel tak lagi melihat lelaki itu datang bahkan hingga setelah dia selesai urusan perceraian. Sampai sekarang dia tak berkunjung.

Mungkin bosan, pikirnya.

Meski terlihat acuh dan nekat menyewa kost sendiri tanpa bantuan orang lain, secarik kertas tebal bertuliskan nomor ponsel masih ia simpan. Artinya Hazel masih berharap keberadaan lelaki itu.

Kalau benar ia Luz, kenapa ia tak mengatakan langsung, bukankah lebih mudah.

Disaat seperti inilah Hazel merasa down. Saat bangun siang dan setelah makan, ia duduk bersandar pada dinding kost, melamun sambil merasakan sepinya hidup. 2 tahun terbiasa bersama orang lain, Hazel merasa adanya perubahan besar disini.

Semakin sepi.

Tanpa disadari, kini ia sedikit tak tahan sepi. 

Ah, kenapa terdengar sangat menyedihkan. Dimana sosok Hazel yang kuat menjalani semua? Bertahun-tahun ia hidup tanpa mendengar kabar apapun dari Luz, terbiasa memaksa diri melupakan apapun yang behubungan dengan desa.

Mungkin hanya kebetulan mirip. Suara bisikan itu sangat mirip dengan Luz saat memeluknya dibawah goa batu.

Cuma kebetulan kan. Ucap Hazel pada dirinya sendiri, mencoba kuat.

"Sial."

Kemudian tiba waktu dia kembali mendapat libur, waktunya belanja. Tapi perasaannya tak tenang. Bukan karena nama 'Luz' berputar diotaknya, tapi bagaimana jika biaya telepon umum mahal. Dia hanya membawa uang pas-pasan.

Akhirnya sebelum belanja Hazel menuju telepon umum, bertanya pada petugas soal pembayaran dan ternyata tak semahal itu.

Sudah terlanjur sampai. Sangat membuang waktu jika harus pergi belanja kemudian kembali kesini. Jadi ia memutuskan berjalan ke salah satu bilik, mengangkat gagang telepon lalu merogoh saku untuk membaca nomor.

"Apa yang akan terjadi kalau aku menghubungi.." Gumam hazel ragu. Dia menatap tulisan di kertas itu cukup lama sebelum berani menekan satu persatu.

Tut... tut.. tut...

Jantungnya berdegup kencang menunggu suara yang terdengar tapi gagal.

Lelaki itu tak mengangkat.

Kemudian Hazel mencoba lagi dan kali ini terdengar suara disana!

"Halo?"

"...." Ahh, dia sangat gugup!

"Kumatikan kalau tak ada yang bicara."

"M maaf. Aku Jeff, emm, kau pernah memberi nomor telepon padaku."

"Oh, aku menunggu sangat lama. Kenapa pakai telepon umum? Dimana ponselmu?"

"Tidak punya."

"Oh sungguh? Kukira waktu itu kau cuma bercanda. Mau kubelikan? Suka merk apa?"

"Tidak perlu, maaf. Aku cuma ingin memberitahu kalau aku akan pindah."

"Sudah mendapat rumah baru?"

"Bukan. Maksudku distrik."

"Distrik?" 

"Yaa. Kau berniat memberitahu hunian murah untukku, jadi kurang sopan kalau aku tiba-tiba pergi dan tak ada kabar. Jadi kuberitahu sekarang."

Yah, Hazel berniat pergi dari distrik.

Rasanya banyak orang disini terutama pria tak menyukainya karena masalah Amber. Banyak yang mengincar perempuan itu tapi yang publik tau, Amber memilih Hazel dan mereka menikah karena cinta. Ketika tau keduanya bercerai ditambah orang tua Amber menyebar isu buruk tentangnya, perlahan semakin banyak yang membencinya.

"Kapan liburmu?"

"Maaf?"

"Kita harus bertemu."

"Aku masih bekerja sambil mengumpulkan uang untuk pindah. Kita bertemu di rumah bordil besok malam."

"Kenapa besok?"

"Malam ini aku libur."

"Kalau begitu aku kesana. Dimana kau?"

"Kita bisa bertemu di bordil besok."

"Tidak mau. Aku ingin kita bicara diluar rumah prostitusi itu."

"Hmm.."

"Cuma ada sedikit tempat yang membuka telepon umum. Kalau tak memberitau, akan kudatangi semua tempat itu sampai menemukanmu."

"Hah??! Tidak perlu."

"Jeff?"

Ketika mendengar suara itu, Hazel kembali terpaku. Sosok Luz kembali muncul di kepalanya.
Akhirnya ia menyerah. "Dekat supermarket, bagian tengah distrik."

☆☆☆

Meski dibilang dekat, sebenarnya jarak supermarket dan telepon umum hampir 2km.

Menunggu lelaki aneh itu datang, Hazel duduk dibawah pohon, bersandar sambil sesekali memejamkan mata karena mengantuk. Bagaimanapun pola tidurnya berantakan.

Hingga merasa pundaknya disentuh oleh seseorang. Kedua mata cerah itu terbuka sayu, kaget dengan jarak keduanya yang sedikit terlalu dekat.

"Mau belanja?"

LULLABY FOR HAZELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang