Prolog

1 0 0
                                    

Naya mengikat rambut Batari neneknya, Naya anak kecil berusia 3 tahun itu menyilangkan rambut neneknya antara satu dengan yang lain hingga membentuk kepang. Nenek pasrah dengan apapun yang dilakukan cucu kesayangannya itu hingga aktifitas mereka terhenti saat suara isakan mulai terdengar dari arah dapur. Naya sangat mengenali suara itu, itu Ibu. Dengan takut-takut Naya melihat ke arah dapur memperhatikan kedua orang tuanya beradu argumen. 

"Naya, sini sayang. Ikat rambut nenek lagi yah." Nenek tau yang sedang terjadi dan mengalihkan fokus Naya. Tanpa rasa curiga Naya hanya tersenyum kembali melanjutkan permainan salonnya bersama nenek. 

"Ayah kenapa mau pergi? tolong jelasin kalau memang aku ada salah. Aku janji akan perbaiki semuanya." Suara Sri Ambar, ibu Naya sedang memelas memohon agar suaminya tidak pergi.

"Kamu nggak ada salah, sedikitpun nggak ada. Kamu perempuan paling baik pernah ada di hidup aku, tapi kita nggak bisa begini terus." Arman berbalik menjelaskan pada Sri berharap ia akan mengerti tindakannya ini. Meski Arman sendiri tau itu tak akan berarti apa-apa. "Aku nggak bisa terus-terusan hidup susah."

"Aku nggak apa-apa, Naya sama Ibu juga nggak pernah ngeluh kalau kita cuma makan seadanya." Ujar Sri masih dengan tangisannya.

"Kamu nggak ngerti, aku yang nggak bisa hidup susah. Maafin aku bu, mungkin kamu akan sangat membenciku setelah ini. Aku sayang sama kamu dan Naya, tapi aku harus pergi." Arman akhirnya keluar, melewati Naya yang ada di ruang tamu. Meski nenek terus mengalihkan perhatiannya tetap saja Naya bisa merasakan ada yang salah dengan keadaan ini.

"Ayah" ujar Naya dengan suara yang hampir tak terdengar. Untuk pertama kalinya dalam hidup Naya, ayahnya pergi meninggalkan rumah tanpa mengecup keningnya. Dan lebih mirisnya, Naya tidak tau kalau ayahnya pergi untuk waktu yang sangat lama, atau mungkin tidak akan kembali. Sri hanya bisa menangis tanpa suara, kini ia harus berjuang merawat anak dan ibunya.

                                                                                     ***

Sri menyadari bahwa ia tidak boleh berlarut-larut dalam kesedihan. Setiap hari berusaha meyakinkan Naya bahwa ayahnya akan pulang, menjanjikan anak kecil itu sebuah harapan yang tidak disadari Sri justru membuat Naya terus tumbuh dengan keyakinan palsu. 

Setiap tahun terasa semakin mudah bagi Sri, melihat sikap Naya yang tidak pernah lagi menanyakan ayahnya. Kini Naya berusia 9 tahun, sudah bersekolah dan memiliki banyak teman. Berbeda dengan ibunya, hidup Naya justru terasa semakin berat.

"Ih kasian pulangnya jalan kaki." Sepulang sekolah seorang anak perempuan melempari Naya dengan botol dan mengejeknya. Tidak ditanggapi anak itu akhirnya berlalu meninggalkan Naya. Meski terlihat tenang, ternyata Naya semakin mempercepat langkahnya menjauh dari area sekolah dan berhenti di depan sebuah rumah yang pagarnya tertutup rapat. Ia berjongkok di sana, menangis tanpa suara seperti kebiasaannya. 

Itu hanya salah satu hal kecil yang menggores hati Naya, di dalam hatinya, ayahnya adalah orang yang bertangung jawab atas semua kemalangan yang terjadi padanya.

Sabitah : Sang Bintang Penunjuk ArahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang