Hallo!
I'm comeback^^
Maaf untuk up yang sangat lama.
But... I hope you're happy with this chapter ^^Happy Reading!
.
.
.
.
.Senin adalah hari yang paling dihindari kebanyakan orang. Bahkan 'benci' juga turut menjadi kata yang umum diucapkan untuk hari Senin. Memang sih tidak ada alasan khusus, tapi Senin bisa menjadi hari yang panjang untuk dilalui walaupun dengan keadaan senang sekalipun.
Hal itu juga yang dialami Devian. Hari Senin yang merupakan hari kesukaannya, berubah menjadi hari yang menyebalkan. Bagaimana tidak. Bangun kesiangan, terlambat di hari pertama ujian, hukuman lari yang harus ia lakukan setelah jam sekolah usai. Tak lupa dengan dirinya yang tidak bisa ikut ujian dikelas karena tunggakan yang belum dibayar.
Tok tok tok...
"Iya, masuk," titah seorang guru.
"Pak Tama manggil saya?" tanya Devian setelah mendekat dan berdiri didepan sang guru yang dipanggil 'Pak Tama' tersebut.
"Iya, duduk dulu, Dev." Pak Tama memperbaiki duduknya dan berdehem pelan sebelum berucap, "Gini, Dev. Kamu kan belum bayar tunggakan, seharusnya kamu gak bisa ikut ujian sebelum bayar sisanya."
Devian hanya bisa menghela napas mendengar permasalahannya. "Iya, Pak. Saya minta maaf. Tapi saya belum ada uang untuk membayar," ucapnya pelan.
"Sudah bilang ibumu?" tanya Pak tama
"Sudah, Pak. Tapi memang belum ada, jadi belum bisa bayar," jelas Devian. Tentu dengan sedikit kebohongan. Jika ia memberitahu yang sebenarnya maka sang ibu pasti akan dipanggil untuk datang ke sekolahnya.
"Pak Tama, bisa bantu saya nggak? Biar tetap bisa ikut ujian. Lagipula, saya kan kemarin ikut Olimpiade sampai final. Ya ... walaupun nggak juara sih," pintanya. Mengusap tengkuk sambil tersenyum malu karena kalimat terakhirnya.
Pak Tama memandang sendu anak didiknya itu, bagaimanapun juga ia adalah wali kelas juga mentor Devian saat mengikuti lomba apapun. Tentu saja dirinya merasa tidak tega. Sedikit banyaknya, ia tahu bagaimana kehidupan remaja multitalenta di depannya tersebut. Menghela napas sesaat, Pak Tama pun mengatakan hal yang mampu menciptakan senyum cerah di wajah Devian.
"Baiklah, Bapak akan bantu kamu buat bicarakan ini ke Kepala Sekolah. Untuk saat ini, kamu bisa mengerjakan ujianmu di ruangan Bapak, gimana?" Devian yang mendengar tawaran dari sang guru pun segera mengangguk semangat. Tapi sedetik kemudian, wajah Devian berubah dan menatap bingung Pak Tama.
"Bapak nggak nyuruh saya ujian dilapangan?" tanyanya. Ia merasa janggal, karena biasanya murid yang belum melunasi SPP tahunannya, akan mengerjakan soal ujian dilapangan.
"Hm? Kamu mau Bapak suruh ujian dilapangan? Yaudah kalau kamu mau. Bapak sih, mangga-mangga wae," seru Pak Tama dengan logat sundanya.
"Eh, jangan deh. Enak di sini. Ada AC-nya," ucap Devian sembari cengengesan.
Pak Tama hanya bisa menggelengkan kepalanya, tak mengerti dengan anak didiknya ini. "Kamu ini, udah dikasih yang enak malah mau milih yang enggak. Kamu itu Bapak bedain, kasian anak seganteng kamu yang udah banggain sekolah kita malah disuruh panas-panasan. Lagian, dilapangan kan, gak ada siapapun. Mau ngerjain di sana sendiri?"
"Gak boleh loh, Pak beda-bedain murid. Nanti kalau ada yang iri, bapak mau tanggung jawab?" candanya. Ia senang menggoda sang guru sekaligus mentornya itu.
"Kamu ini. Udah kerjakan ujian kamu di sini. Bapak mau bicara sama Kepala Sekolah dulu," titahnya. Sebelum pergi, Pak Tama menyempatkan tangannya untuk mengusak surai Devian yang sudah duduk untuk mengerjakan ujiannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Devian
Teen FictionDevian hanya tau jika kehidupannya tak pernah usai akan badai yang menerpa. Satu persatu pijakan semestanya, alasan ia hidup mulai meninggalkannya. Lelah dijatuh bangunkan berkali-kali, Devian sempat ingin menyerah dengan kehidupannya. Berpikir ba...