Hai! Aku kembali:)
Maaf untuk prolog kemarin ya, aku gk tau sebanyak itu kesalahan yang aku tulis:(Sebagai permintaan maaf, aku nulis chapter ini 1k words lebih.
Semoga kalian gak bosan bacanya^^.
.
.
.
.“Kakak ... Ian takut ...” lirih Devian. Membuka pintu kamar seseorang yang ia panggil Kakak.
Si pemilik kamar yang tadinya melamun, terkesiap saat mendengar suara Devian. “Sini! Kakak akan memelukmu biar rasa takutnya hilang,” ucapnya. Menepuk-nepuk bagian samping kanan ranjangnya yang masih kosong.
Devian kecil segera mendekat dengan berlari kecil kearah Kakaknya. Kemudian duduk dan memeluknya dengan erat.
“Kak Andra, Ian takut sekali,” Ucap Devian ketakutan. Berusaha mencari kehangatan juga perlindungan dari si pemilik nama Andra sekaligus kakaknya tersebut.
Andra menatap gemas sang adik yang memejamkan matanya saat mendengar bunyi gemuruh. Ia pun mengelus rambut Devian lembut. Dan bertanya, “memangnya Devian takut apa?”
“Takut Monster,” jawab Devian pelan.
“Monster? Disini tidak akan ada monster, Devian,” Ucap Andra menenangkan.
“Ada kok, Kak! Diluar sana,” kukuhnya. Menunjuk jendela yang tertutup tirai putih tipis. Menampakkan rintik hujan pun dengan suara petir yang saling bersahutan.
Andra mengernyitkan dahi. Merasa bingung dengan perkataan sang adik. Ia hanya melihat hujan dan kilatan petir, tapi kenapa adiknya itu ketakutan?.
“Itu hanya hujan, Dev. Coba deh, kamu buka mata dulu! Gak ada monster kok,” bujuk Andra sambil membuka paksa mata Devian.
Devian yang kesal karena matanya dibuka paksa oleh Andra pun menjauhkan tangan sang kakak dari matanya dan berujar kesal. “Ih, Kakak. Jangan ditarik-tarik! Nanti mataku keluar.” Andra tertawa gemas. Adiknya ini sangat lucu.
“Coba jelaskan, kenapa kamu takut hujan?” tanya Andra. Mencolek hidung mungil milik sang adik yang masih merengut di pelukannya.
Devian mendongak, menatap polos Andra dengan mata bulatnya. Pun dengan pipi gembul berona pink kemerahan. “Ian nggak takut hujan, kok. Ian takut suara monster ...” Bibir plum Devian berucap lirih.
Andra menggigit bibir bagian bawahnya sembari menahan pekikan yang hanya bisa ia lontarkan dalam hati. Mengapit jari jempolnya kedalam jari-jari lainnya yang ada dibelakang punggung adiknya, mencoba menahan diri untuk tidak melahap pipi Devian.
Setelah menenangkan diri dari ke-gemesannya terhadap sang adik, ia pun bertanya, “Dimana, sih? Kakak hanya mendengar suara hujan dan-“ ucapnya terpotong saat teringat sesuatu. “apa maksudmu itu suara dari petir?” sambungnya.
“Mm? Tidak tahu. Kata Arva, itu suara monster sedang berkelahi. Kemarin disekolah, waktu tunggu ayah jemput bareng Arva. Tiba-tiba hujan, terus ada petir-petir sama suara mengerikan. Arva bilang, monster langit sedang berkelahi melawan musuh dari luar angkasa. Dia juga bilang kalau petir-petir itu tembakan laser dari Alien.” Devian mengoceh dengan menggebu-gebu. Menceritakan bagaimana Arva, temannya di taman kanak-kanak yang selalu saja memiliki cerita-cerita unik. Oh, dan jangan lupakan dengan ekspresi juga tangannya yang tak berhenti bergerak saat bercerita. Meniru persis cerita dari temannya itu.
Andra hanya bisa menahan tawa saat mendengarkan cerita adiknya yang menurutnya sangat lucu.
“Lalu, kenapa Devian takut?” tanya Andra.
KAMU SEDANG MEMBACA
Devian
Teen FictionDevian hanya tau jika kehidupannya tak pernah usai akan badai yang menerpa. Satu persatu pijakan semestanya, alasan ia hidup mulai meninggalkannya. Lelah dijatuh bangunkan berkali-kali, Devian sempat ingin menyerah dengan kehidupannya. Berpikir ba...