CHAPTER 7

10 0 0
                                    

Lima menit sebelum pelajaran mulai, sebagian besar murid sudah di kelas masing-masing. Tatapan tajam semua mata dan suara cekikikan yang familiar di telinga Yoon Hee mengiringi gadis mungil itu memasuki kelasnya. Biar ia tebak, gosip sudah menyebar secepat virus di kelas ini. Tak heran mata-mata itu bekilat mencemooh padanya.

"Dia datang." Itu Ji Ae. Mereka tertawa.

"Dia akan memakai topi kemana-mana. Setidaknya tiga hari." Itu Haa Ri. Dan suara tawa terdengar lagi.

"Ku pikir dia cukup tahu diri. Dia memilih kursi yang cocok untuknya sejak awal. Para pecundang." Bo Ra menyahut santai. Melirik Yoon Hee yang berjalan lurus dan duduk di sebelah pecundang lainnya.

Gadis New York itu bagai batu, tak bergeming dan tak memasang raut berarti yang memuaskan Bo Ra. Telinga Yoon Hee tak tuli. Ia mendengar dengan jelas, ia juga tahu benar Bo Ra dan dua babunya sengaja bicara dengan keras untuk memancingnya.

Tidak lagi.

Tiga lawan satu bukan begini cara kerjanya. Melawan para gadis itu dengan kekerasan hanya akan mempermalukan dirinya sendiri. Kali ini Yoon Hee hanya cukup diam, ia akan pikirkan nanti. Yang lebih prioritas sekarang adalah kening sialannya ini.

"Kau punya gunting?" Pertanyaan itu untuk gadis berkaca-mata di sebelah Yoon Hee. Yang matanya berkedip bingung sesaat hanya untuk membesar terkejut saat Yoon Hee melepas topinya.

Dan suara tawa tiga gadis di ujung sana terdengar lagi. Para pelaku yang bertanggung jawab pada kekacauan di wajah Yoon Hee.

"Ka-kau? Apa yang kau lakukan pada keningmu?"

"Apa aku! ... terlihat seperti ingin menulis ini." Hampir saja Yoon Hee berteriak jika tak mengingat bahwa kehadirannya saja sudah mengundang tatapan sadis semua orang. Mau tak mau Yoon Hee hanya memutar matanya lelah dan melempar diri ke sandaran kursinya. Gadis culun ini keterlaluan. "Punya gunting, tidak?" Yoon Hee bicara lagi. Mengingatkan Jae Yoon pada kegiatannya yang sempat terhenti tadi. Mencari gunting dalam tasnya.

Gadis berkaca-mata itu mencari ke sana- ke mari, pada semua tas yang ia bawa. Jae Yoon membawa tiga tas. Tas sekolah, tas jinjing untuk beberapa buku lagi dan tas lainnya untuk membawa beberapa kotak makan. Yoon Hee menunggu dengan mendengus berkali-kali untuk berusaha sabar sambil melirik apa saja yang Jae Yoon bawa ke sekolah. Ada tiga kotak makan, dengan kotak makan sebanyak itu Jae Yoon bisa saja piknik di taman sekolah. Dia hanya perlu alas kain.

"Ini dia." Secepatnya gunting itu terlihat. Yoon Hee merebutnya dari Jae Yoon.

Tanpa pikir Yoon Hee menyalakan kamera depan ponselnya. Membuatnya melihat dengan jelas tulisan di keningnya. Baiklah, jika Yoon Hee tak bisa menghapus itu. Setidaknya ia bisa menutupinya.

Hanya perlu waktu dua detik, helaian biru jatuh ke atas paha Yoon Hee. Gadis itu memotong rambutnya, membuat poni tebal yang lebih dari cukup untuk melenyapkan jejak Bo Ra di keningnya.

Satu sudut bibir Yoon Hee menyungging miring. Puas dengas poni berpola naik-turun berantakan yang ia ciptakan. Andai sejak awal Yoon Hee tahu akan semudah ini, ia tak akan menghabiskan waktu menggosok keningnya di toilet tadi.

...

Tak hanya di kelas. Tatapan tajam menghamiki rupanya Yoon Hee temui juga di kantin. Yoon Hee benar-benar telah kehilangan jati dirinya sebagai gadis kaya dari New York. Menutupi tulisan di keningnya tak cukup untuk menutupi fakta bahwa Yoon Hee telah kehilangan segalanya, ayahnya, hartanya, dan harga dirinya, hal terakhir yang Yoon Hee punya, dan itupun telah terkikis seiring setiap mata yang menatapnya penuh cemooh.

Napas panjang ditariknya susah payah, tatapan Yoon Hee lurus ke depan. Gadis itu membawa nampan makanannya dengan tenang dan melewati setiap meja makan yang masing-masing ditempati beberapa siswa yang berbisik setiap kali Yoon Hee lewat. Gadis bersurai biru itu hanya mengangkat dagu, memasang tampang datar yang angkuh meski sejujurnya bisikan dan tatapan mencibir setiap mata di sana seolah menusuki telinganya.

Sulit untuk Yoon Hee menemukan tempat. Kantin seluas 400m ini penuh dengan siswa, kenyataan yang membuat Yoon Hee harus mendengus kasar. Berjejalan dan semeja dengan orang-orang ini hanya akan menghilangkan nafsu makan. Jika bukan karena memikirkan jumlah uang ayahnya yang dibayarkan untuk satu nampan makanan ini, Yoon Hee tidak sudi bersusah payah berkumpul dengan manusia-manusia kampungan ini hanya untuk sesuap nasi. Ia rindu teman-temannya di New York, mereka punya meja khusus, meja yang tak bisa ditempati oleh junior manapun, atau junior itu akan mati dihabisi teman-temannya.

Di tengah pikirannya yang mengingat masa lalu, ujung mata Yoon Hee menangkap tempat lenggang di samping gadis-gadis yang Yoon Hee yakini adalah adik kelas. Secepatnya Yoon Hee ke sana, ingin meletakan nampannya dan bermaksud duduk.

"Tunggu!" hanya untuk dibuat berdiri lagi.

"Kenapa?"

"Kursi ini sudah di tempati." Satu gadis dengan rambut di kuncir buny ke atas segera meletakan tangannya di atas kursi yang kosong.

"Oleh siapa?" Kepala biru itu menoleh ke sekeliling, tidak ada tanda-tanda seseorang mendekat untuk menempati kursi itu. "Jangan bercanda. Tidak ada yang mau duduk di sini."

"Oleh murid yang lebih pantas selain anak koruptor." Gadis lain di seberang meja menyahut di antara nasi yang menggumpal di mulutnya. "Kami tak mau makan di dekat sampah." Kalimat itu memancing satu meja tertawa karena celutukan ini. Kecuali Yoon Hee, wajah putihnya seketika pucat pasi. Ia ingin menyumpah namun berakhir mulutnya hanya terbuka tanpa suara. Ia memang bisa apa, mau marah-marah? atau menyangkal? Percuma, membiarkan dirinya meledak di sini hanya akan membuatnya jadi bahan tontonan. Hal paling waras yang bisa Yoon Hee lakukan hanyalah mengeratkan jemarinya di bawah nampan dan pergi secepatnya untuk mencari meja lain.

Beruntung Yoon Hee segera menemukannya. Kursi di paling ujung ruangan di dekat jendela. Hanya ada dua gadis di sana. Kakinya mengayun cepat sebelum ada orang lain yang mengambil tempat itu. Hanya untuk dibuat berhenti bahkan sebelum Yoon Hee mencapai meja. Dua pasang mata gadis-gadis yang duduk di sana seketika memelototinya. Salah satunya mengentakan sumpitnya dengan kesal.

"Apa kau tak tahu diri, huh!" Kalimat kasar itulah yang menyambut Yoon Hee. "Jangan berani duduk di sini, Sampah kecil!"

Lagi? Yoon Hee menganga tak percaya. Diusir dua kali cukup untuk memberitahu Yoon Hee bahwa satu sekolah sudah tahu siapa dia sebenarnya. Gadis yang dibuang oleh ayah yang seorang koruptor. Entah bagaimana mereka tahu tentang itu, namun yang jelas, Yoon Hee terjebak dalam neraka sekarang. Bisa Yoon Hee pastikan bukan hanya Bo Ra yang akan mendasnya mulai kini, tapi semua gadis satu sekolah.

Sekali lagi yang bisa Yoon Hee lakukan hanyalah mengisi udara sebanyak-banyak ke paru-paru, berharap itu bisa menyiram bara api dalam dadanya. Nafsu makannya sudah hilang, persetan dengan uang ayahnya untuk makanan-makanan ini. Ia tak bisa menerima penghinaan mereka lebih banyak.

Tanpa suara Yoon Hee membawa nampan makannya menjauh, ingin menuju troli tempat menumpuk nampan kotor. Sialnya, Yoon Hee harus melewati sekumpulan gadis plastik bermake-up tebal yang familiar. Mudah mengenali wajah-wajah itu dari jauh, milik Bo Ra dan teman-temannya. Yoon Hee bisa saja memutar mencari jalan lain, namun ia terlalu sombong untuk mengakui kalau ia ingin menghindar.

Surai biru Yoon Hee terlalu mencolok untuk tak menarik perhatian Bo Ra. Di balik bulu matanya yang berkedip cepat, sosok mungil yang bergerak ke arahnya membuat satu ujung bibirnya menukik. "Dia di sini." Memberi tahu pada gadis-gadis lain di meja itu bahwa orang yang mereka tertawakan sejak tadi sedang mendekat. Seketika semua mata di meja itu menoleh, termasuk Haa Ri yang duduk di depan Bo Ra. Sebuah ide jahil melintas di kepalanya. Gadis angkuh itu semakin dekat, wajahnya lurus ke depan tanpa ekspresi, Haa Ri gemas ingin mengacau padanya.

Dengan ringan Haa Ri yang duduk di paling sisi mengeluarkan kakinya dari meja tepat saat Yoon Hee melintasi mereka. Pertunjukan yang sangat lucu jika gadis sombong itu terjembab untuk yang ke dua kalinya hari ini. Setidaknya itulah yang Haa Ri harapkan sampai ketika Yoon Hee dengan cekatan berhenti, mengangkat kakinya dan menginjak keras kaki gadis bodoh ini. Pengalaman pernah dikeroyok tiga gadis itu memaksa Yoon Hee waspada pada setiap gerak-gerik mereka. Termasuk sekarang.

"Akhh!!!!" Pekikan Haa Ri menarik perhatian semua gadis di meja itu. Mereka menoleh pada gadis berambut biru yang berlalu dengan senyum kemenangan di bibirnya. Satu-satunya tersangka atas teriakan kesakitan teman mereka.

"Dasar tidak tahu diri!" Itu Bo Ra, tentu saja. Gadis yang memiliki dendam paling banyak pada Yoon Hee. Alasan cukup untuk membuatnya tak ingin melewatkan sedikitpun kesempatan untuk menyerang gadis berkulit salju itu. "Kau tak sadar, hah! Kau tak punya tempat di sini!"

Sama seperti yang lainnya. Yoon Hee akan menulikan telinganya juga untuk teriakan itu. Ia sudah terlalu muak untuk berhadapan dengan semua orang.

"TEMPATMU DI TONG SAMPAH KANG YOON HEE!"

Tsk!

Yoon Hee akui, gadis kurus dengan makeup tebal, hidung plastik, dan bulu mata sintetis itu sangat hebat. Karena hanya dia yang mampu mendorong rasa muak Yoon Hee keluar dari perutnya hingga tak lagi bisa Yoon Hee tahan. Kakinya berhenti dan ia berbalik, menuju Bo Ra yang sudah menyambutnya dengan kedua tangan yang melipat angkuh di depan dada.


“Kenapa kau selalu berubah frontal saat melihatku? Apa aku begitu membuatmu gugup?” desis Yoon Hee lirih. Yoon Hee benar, bukan? Seseorang tak akan mengganggunya segigih ini kalau keberadaannya tak mengancam siapapun. Melihat Bo Ra selalu bernafsu untuk mengumpat setiap kali melihatnya, jelas sekali gadis bak manekin kurus ini menganggap Yoon Hee ancaman untuknya. Bo Ra hanya tak mau mengakui, lihat saja bagaimana dia tertawa panik di depan Yoon Hee sekarang. Tawa palsu yang dibuat-buat. Yoon Hee harus membuang muka agar tak muntah melihatnya.

“Kau bicara apa?” Satu jemari panjang gadis itu menunjuk keras ke bahu kanan Yoon Hee. “Kenapa aku harus gugup! Kau bukan kelasku. Aku sudah mengumumkan siapa kau sebenarnya di mading online sekolah. Semua orang tanpa terkecuali, bahkan tikuspun tahu kalau kau tidak lebih baik dari binatang pengerat.”

Meski hanya dengan satu jari, Bo Ra dengan ajaib mampun membuat Yoon Hee melangkah mundur perlahan. Bukan karena gadis berambut biru itu lemah, melainkan Yoon Hee kini menyadari mengapa begitu cepat sikap semua orang di sekolah ini berubah, ternyata seongok daging tipis ini pemicunya.

Tak ada yang lebih menyenangkan memang daripada menyebarkan berita buruk tentang orang yang kita benci. Bo Ra jelas tak akan melewatkan itu.

“Tak ada yang mau melihat wajahmu di sini. Jadi silahkan pergi dan berkumpulah dengan teman-teman sampahmu. Jangan membuat nafsu makan kami hilang.” Dorongan Bo Ra baru berhenti seiring kalimatnya selesai.

Tak ada respon dari lawan bicaranya selain sunggingan tipis di bibir kecil itu. Bo Ra benar-benar sudah mengacau pada Yoon Hee. Jika gadis ini ingin membuat keributan, baiklah, akan Yoon Hee tunjukan keributan yang sebenarnya. “Hmm jadi aku harus pergi sekarang ya?” Gadis pucat itu perlahan mendekat dengan santai. “Baiklah. Tapi karena aku sudah mengambil makanan. Jadi ini untukmu saja, ya.”

‘WAH!!!’
‘Apa yang dia lakukan’
‘Dia sudah gila’

Pada dasarnya sekecil apapun keributan yang terjadi di sekolah, pastilah akan menjadi tontonan. Dan itulah yang terjadi sekarang, waktu makan siang yang seharusnya digunakan untuk mengisi lambung murid-muridnya, kini sedikit bergeser menjadi kegiatan menonton murid baru dari New York memberikan makan siangnya pada teman sekelasnya tepat ke atas kepala. Nasi, daging pedas, dan bihun goreng seketika berpindah ke rambut pirang panjang nan indah milik Bo Ra, membuat helaian keemasan itu berkilau oleh minyak masakan.

Kehilangan ayah dan harta tak serta merta membuat Yoon Hee kehilangan sifat berangasnya juga. Gadis pirang ini yang memaksa sifat itu keluar.

Bo Ra histeris, ia terguncang mengetahui fakta bahwa rambut halusnya kini penuh bumbu daging yang baunya sangat susah hilang. Satu sisi ia ingin menyingkirkan apapun yang melekat di kepalanya, namun di sisi lain ia terlalu jijik untuk menyentuhnya. Berakhir kedua tangannya hanya menegang seperti orang kejang. “Singkirkan benda ini dariku!!!” Teriakan itulah yang menyadarkan Haa Ri dan Ji Ae yang sejak tadi hanya menganga takjub pada kekacauan yang dibuat Yoon Hee, keduanya refleks mengambil setiap helaian bihun di rambut pirang Bo Ra saat gadis itu sendiri mulai meledak murka. “APA YANG KAU LAKUKAN!!!” Wajahnya merah dan reflek kedua tangannya menyambar gadis pucat berkepala biru yang tertawa menang di depannya. Si sumber malapetaka. Gadis yang ingin ia botaki dengan mencabuti rambut biru itu menggunakan tangannya sendiri. “Aaaak!!!”

Ingat, Yoon Hee pemegang sabuk hitam dan ia juga paham betul tentang hukum aksi reaksi. Terlalu mudah untuk Yoon Hee menebak apapun yang mungkin Bo Ra lakukan setelah ia mengacaukan rambut sehalus bulu itu. Refleks Yoon Hee mengangkat tangannya, bersiap menangkal apapun serangan Bo Ra saat sepasang tangan lain sudah lebih dulu menangkap tangan kurus si gadis pirang.

“Apa yang terjadi? Kau baik-baik saja.” Suara halus itu, eratan di pergelangan tangannya, dan sepasang manik hitam yang menyorot khawatir itu seolah menenggelamkan Bo Ra ke dalam kolam es. Seketika meredam panas yang memercik di setiap sel tubuhnya. Bo Ra lemah, dunianya seketika teralih jika berhadapan dengan seorang laki-laki tampan bersurai hitam yang tatapannya seteduh musim semi ini, seorang laki-laki bernama Park Jae Min.

Niat Jae Min pergi ke kantin tadinya hanya sebatas untuk mengisi perut dan menemui salah satu gadisnya untuk menagih janji ingin membelikan Jae Min T-shirt Fila baru. Namun yang Jae Min dapati malah permandangan semua orang di sana yang menoleh pada satu titik. Menuju seorang murid berkepala biru yang tengah membuat onar dengan nampan makanannya.

Kang Yoon Hee lagi-lagi membuat masalah.

Decakan kasar lolos dari bibirnya saat Jae Min tanpa pikir, tanpa sadar, tanpa bisa mengendalikan diri malah melesat ke sumber keributan dan mencegah segala macam kemungkinan keributan itu semakin membesar.

“Tenanglah. Kau harus bersihkan dirimu.” Untungnya Bo Ra dengan mudah Jae Min kendalikan. Secepatnya Jae Min membawa gadis itu duduk. Mengalihkan perhatiannya dari Kang Yoon Hee dan ikut membersihkan kepala Bo Ra.

Sesaat Jae Min melirik pada Yoon Hee, memberi sorot tajam sekilas pada gadis yang hanya mengangkat bahu tak perduli lalu mencolok susu pisangnya dengan sedotan, satu-satunya makan siang Yoon Hee yang masih bisa ia selamatkan. Gadis pucat itu berlalu begitu saja, melintasi para murid lain yang sudah mencibir padanya tanpa ia perduli.

Dalam diam Jae Min menggeleng dan menghela nafas panjang. Bo Ra hampir menangis sekarang, merengek sambil memeluk satu lengan Jae Min, membuat minyak di rambutnya ikut menodai Jae Min. Menjijikan sekali. “Hmm... Sepertinya kau baik-baik saja. Aku harus pergi sekarang.” Maaf saja, Jae Min punya urusan yang lebih penting dari pada tangisan gadis ini. Ia masih mau t-shirt Fila, ingat.

“Tap-tapi...”

“Aku benar-benar harus pergi, okay.” Semakin Jae Min menarik tangannya, semakin jemari Bo Ra mengerat. “Sorry.” Terpaksa Jae Min menggunakan ototnya, dengan sekali sentakan kasar Jae Min berhasil lolos dan melesat pergi. “Pulang saja dan cuci rambutmu. Itu agak bau.” Kalimat terakhir Jae Min sontak memecah tangis Bo Ra. Ia marah, malu, dan benci pada dirinya sendiri. Pertama kalinya Jae Min bisa ia jangkau, namun ia justru berpenampilan gembel seperti ini.

CAMARADERIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang