Chapter 3

7 0 0
                                    


Antrian sepanjang tiga meter berhasil Yoon Hee lalui tanpa mengumpati orang-orang di depannya yang perlu waktu lebih dari lima menit hanya untuk memilih menu. Saat mencapai meja konter urat di keningnya sudah menegang sangar. “Satu ice capucino less sugar,” ucapnya tanpa menunggu laki-laki muda penjaga mesin kasir menyelesaikan sapaannya. Pesanan Yoon Hee segera dibuat. Sedang si pemesan kembali sibuk dengan ponsel dan membuat panggilan di sana. Untuk ayahnya, yang sejak tadi tak bisa dihubungi.

Tidak aktif, itulah alasan yang diberikan mesin penjawab otomanis di seberang sana. Aneh sekali, biasanya ayahnya tak pernah begini.

Menggarukan jarinya bosan di atas meja, Yoon Hee menunduk menatap ponselnya lekat, membiarkan surai birunya jatuh menutupi kening coklat sewarna bola matanya. Panggilan baru Yoon Hee buat, ia menunggu suara di seberang sambil melihat sekeliling.

Ini satu-satunya kedai  kopi terdekat yang bisa Yoon Hee temukan setelah keluar dari komplek sekolahnya. Bergaya vintage dengan langit-langit kayu rotan dan bernuansa kekuningan dari lampu yang menggantung di setiap pilar. Semuanya serba kayu, bahkan wadah tusuk giginya. Bagus, tapi pengap. Tempat yang terlalu sibuk untuk kedai yang hanya terdiri dari satu ruang, para pelayan berseragam barista berkeliaran memenuhi pesanan setiap meja yang sebagian besar diisi anak muda seumuran Yoon Hee. Merekalah yang memakan tempat, Yoon Hee bertaruh mereka hanya memesan segelas kopi dan mengobrol empat jam di sana.

“Ice capucino less sugar. Dua ribu lima ratus won.”

Cup bening berlapis karton coklat terdorong dari meja kasir. Tanpa menjauhkan ponsel dari telinga, Yoon Hee mengambil kartu kredit yang ia selipkan di silikon pembungkus si ponsel lalu menyerahkannya.

Masih tak ada yang menjawab panggilannya. Memberi Yoon Hee banyak waktu memata-matai penjaga kasir. Kartunya digesek berkali-kali sebelum laki-laki muda bercelemek hitam di pinggang itu memperlihatkan wajah bingungnya pada Yoon Hee.

“Permisi. Apa anda punya kartu lain?”

“Huh?”

Nomer yang anda tuju ...

“Kartu yang ini sudah terblokir.”

sedang tidak aktif.

“Ah sial!”

Buru-buru penjaga kasir menarik lidahnya. Tak berani berucap lebih banyak saat sosok sepucat salju di depannya mengumpat ganas pada ponselnya. Galak sekali. Paras manis itu tak cocok menumpang di wajah itu.

Menyadari si penjaga kasir terdiam, Yoon Hee melirik sekilas. “Apa tadi?” Bertanya meski tetap keras kepala menyentuh layar ponsel tanpa melihat, kembali ke folder kontak untuk menghubungi nomer yang sama.

Orang di depannya ini bilang kartu kreditnya diblokir. Ia pasti salah dengar.
Yoon Hee menggeleng lelah dan terkekeh bisu.

“Kartu kredit anda yang ini tidak bisa digunakan.” Ibu jarinya berhenti menggulung deretan kontak. Lebih dulu mengangkat alisnya sengit sebelum melempar tatapan jengkel.

Kesialan apa lagi ini.

“Omong kosong. Tidak mungkin. Kau saja yang tak bisa menggunakan.”

“Saya sudah coba berkali-kali tetap tidak bisa.”

“Tapi kartuku baik-baik saja. Tidak mungkin ditolak!” Suaranya naik. Seiring dengan darahnya.

“Tapi memang tidak bisa, Tu-”

”COBA SAJA SEKALI LAGI!!!”

Bulir dingin di permukaan gelas kopi Yoon Hee seketika rontok saat pemiliknya menggebrak garang meja konter. Si penjaga kasir memilih mengalah, namun sebagai gantinya, Yoon Hee harus mendengar gerutuan pengantri di belakangnya.

CAMARADERIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang