Chapter 1

21 1 6
                                    

.
.
.

Kawasan sekolah memang selalu ramai jika pagi hari. Sebagian besar yang memadati jalanan adalah para siswa yang berlarian menuju gerbang sekolah, salah satu sekolah menengah atas di kota itu.Seoul, kota metropolitan yang terkenal sebagai jantung negara.

Di antara keramaian itu, sebuah mobil hitam bernilai fantastis membelah jalanan, berhenti tepat di depan gerbang yang membatasi dunia luar dan lingkungan sekolah. Tak ada yang tahu bahwa di balik gelapnya kaca mobil, ada sepasang manik kecoklatan yang menatap muak pada lingkungan di sekitarnya. Pemilik mata itu bersurai sewarna langit cerah, berkulit pucat dengan paras manis yang membuat orang harus berkedip dua kali untuk percaya bahwa sosok itu nyata. Ia duduk di samping bangku kemudi, menatap tak percaya ke mana sang supir membawa dirinya. Sekarang ia tahu dari mana asal seragam dengan model kuno yang ia pakai ini, Su Won HighSchool.

Kepalanya mendadak pusing, tak habis pikir pada pilihan ayahnya. Di saat ada sekian banyak sekolah besar di kota itu, kenapa ia justru dijebloskan ke sekolah pinggiran seperti ini. Ia sudah melakukan riset, ini adalah sekolah untuk anak-anak yang tak lulus ujian masuk SMA yang sesungguhnya.Singkat kata, itu adalah sekolah buangan, dan itu bukan tempat yang pantas untuk siswi cerdas sepertinya.

“Yang benar saja.” Memasang tampang protes, ia menoleh pada laki-laki di kursi kemudi, ayahnya sendiri. "Jadi kau memaksaku pindah ke Seoul dan meninggalkan New York hanya untuk membusuk di tempat seperti ini?" Perkataan setengah ketus itu hanya dijawab helasaan nafas penuh kesabaran dari pria paruh baya yang memegang kemudi.

Ia melayangkan tangannya, mengelus lembut kepala putri satu-satunya, sebagai usaha untuk memadamkan api yang mungkin sudah memercik di dalam sana. "Kenapa? Kau tak menyukai sekolah ini hanya karena tempatnya bukan di tengah kota?"

"Ini tempat sampah, Dad! Semua temanku di New York akhirnya punya sesuatu dariku untuk ditertawakan."

Sang ayah menggeleng, selalu berhasil menahan emosi pada putrinya yang terlalu meluap-luap ini. "Inilah sekolah terbaik untukmu. Kesuksesan sejati bisa di mulai dari mana saja. Hidup bukan tentang di mana kau berada, namun bagaimana kau menghadapinya. Kau tahu, jika kau menapaki jalanmu dari hal yang paling sederhana maka di masa depan kau pasti bisa melakukan segalanya. Jadi mulaisekarang kupikir kau harus belajar menghargai sesuatu yang kecil, karena saat kau kehilangan segalanya yang kau punya, tak akan sulit bagimu untuk bangkit kembali. Kau akan bi_"

"Ya, ya baiklah ... apapun itu, kau yang menang," potongnya cepat, merasa bosan mendengar ocehan sang ayah yang menurutnya tak berguna. Meraka punya uang, punya segalanya. Untuk apa menapak dari nol jika ia sudah ada jalan membentang yang berhadapan tepat pada mimpinya.

"Tak ada gunanya mengeluh padamu," gerutunya lagi memilih mulai beranjak untuk keluar, ia tahu sifat ayahnya, ayahnya memang tak pernah memaksakan sesuatu padanya dengan teriakan atau desakan. Ayahnya selalu berkata lemah lembut, namun begitu kuat untuk dibantah, apapun yang keluar dari mulutnya maka itulah yang akan terjadi, tak akan ada yang berubah bagaimanapun ia membencinya.

Termasuk yang satu ini, saat ia hidup tenang dan bahagia di New York, tiba-tiba sang ayah memintanya pindah ke Korea Selatan, negara asalnya, dengan alasan perusahaan tempat ayahnya bekerja mengirim sang ayah untuk mengurus cabang di sini. Sang Ayah memiliki jabatan cukup tinggi di sebuah perusahaan tekstil yang diperhitungkan di pasar Amerika, bahkan dunia. Dan mendapat kepercayaan untuk memimpin salah satu cabang perusahaan, terlebih itu di negara asalnya, sang ayah jelas tak akan berpikir dua kali untuk menerima dan segera pindah ke Korea Selatan untuk menetap di tanah kelahirannya.

CAMARADERIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang