Chapter 2

8 0 0
                                    

.
.
.

Bel masuk yang berbunyi tiga puluh menit yang lalu sama sekali tak merubah keadaan kelas 3- C menjadi lebih baik. Para gadis yang menggosip tentang murid berandal yang menyatakan cinta pada guru konseling minggu lalu masih bergerombol di sudut ruangan. Permainan pimpong di atas meja guru juga sedang sengit-sengitnya. Kaum pemalas juga masih sibuk menyalin pekerjaan rumah si juara kelas dengan tergesa.

Pelajaran pertama hari ini adalah sejarah. Namun kemunculan secara tiba-tiba sosok botak berkaca mata yang menyandang status wakil kepala sekolah di balik pintu mengherankan semua orang di sana sekaligus melenyapkan keributan dalam hitungan detik.

Satu-satunya yang terdengar hanya gemeletuk sepatu Tuan Jang, si wakil kepala sekolah. “Selamat pagi.” Kehangatan matahari di luar sana seakan bercampur dalam suara rendah milik laki-laki paruh baya itu. Sekalipun murid yang dengan ajaib sudah duduk di tempatnya masing-masing dalam sekali kedipan membalas sapaan itu malas, tak mengurangi semangat dalam nada bicara Tuan Jang. Ini masih pagi, belum saatnya para siswa tertunduk lesu di atas meja. Otak mereka bahkan belum digunakan untuk hari ini.

Jarang sekali wakil kepala sekolah ini mengunjungi kelas. Bisa dipastikan kemunculannya pasti untuk sesuatu yang sangatlah penting. “Aku kemari untuk mengantar murid pindahan,” singkatnya, nyaris tak mendapat reaksi apapun.

Beberapa siswa hanya berkedip datar, beberapa yang lain bahkan tak lagi sadar Tuan Jang masih berdiri di depan kelas. Jangan harap mereka akan berteriak girang dengan mata berbinar mendengar kata ‘murid pindahan’, itu hanya dilakukan oleh murid sekolah dasar. Rasa takjub pada murid baru akan berkurang seiring pertambahan usia.

“Baiklah.” Kepala botak Tuan Jang menoleh ke arah pintu. “Kang Yoon Hee, kemarilah.” Suaranya meninggi sambil sibuk memperbaiki letak kaca matanya agar lebih tegas menyaksikan sosok gadis bersurai sewarna langit di siang hari itu melangkah masuk.

Kedua tangannya menggenggam tali ransel. Jas sekolahnya bergoyang saat ia berjalan. Sesekali bulu matanya yang panjang berkedip saat melihat sekeliling.

Yoon Hee di depan kelas sekarang. Berhadapan dengan tiga puluh empat siswa untuk menunjukan tampang datarnya, raut ternormal yang bisa ia tunjukan. Yoon Hee bukan orang yang ramah, asal mereka tahu saja.

Yoon Hee memindai seisi ruangan, terlihat sekali bahwa kelas itu sudah terbagi dalam berbagai kubu. Kubu para siswa pintar tentu saja di depan, dengan penampilan nyaris persis seperti yang tertulis pada papan peraturan. Kubu berikutnya yang mencolok adalah kumpulan gadis-gadis opera sabun pengabdi gengsi dan sosialita, merk yang melekat di tubuh mereka menjadi ciri di tingkatan sosial mana mereka berada, merekalah si para siswa populer. Dan deretan paling belakang, tentu saja gerombolan sampah kelas yang sekolah hanya untuk duduk, tidur, membuat onar, mencuri pekerjaan rumah orang lain, kadang mencuri bekalnya juga, lalu pulang tanpa beban.

Tak ada yang istimewa. Sama halnya dengan Yoon Hee, para siswa itu juga tak begitu perduli dengan kehadiran Yoon Hee di depan kelas, hanya mengomentari rambut Yoon Hee yang berwarna mencolok sekilas dengan tampang datar untuk kemudian kembali pada urusan mereka masing-masing. Baguslah, sejak awal Yoon Hee juga tak berniat sama sekali untuk berbaur.

“Perkenalkan dirimu.” Tuan Jang menyela lamunan Yoon Hee.

Menoleh Tuan Jang sebentar, Yoon Hee lalu membuka suara. “Aku akan kembali ke New York secepatnya, tidak perlu mengenalku.” Nada bicara yang datar dan tampang tanpa ekspresi sukses mematikan atmosfir di sana. Perkenalan ‘yang lebih terdengar seperti pernyataan’ Yoon Hee hanya dijawab ketukan baru burung gereja yang kebetulan hinggap di ventilasi. Selebihnya, tak ada yang Yoon Hee dapatkan selain ...

CAMARADERIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang