Berita

9 3 0
                                    

Setelah pulang dari rumah Ayda, Hilya dikejutkan dengan kakak ipar beserta keponakannya yang ada di teras rumahnya. Pasalnya istri kakaknya ini tinggal di luar kota bersama mertua dari kakaknya itu.

"Mbak kapan nyampe sini?" Ucap Hilya dengan menggantikan kakak iparnya yang sedang menggendong anaknya.

"Udah dua jam yang lalu, kamu apa kabar?" Tanya Nafis-kakak ipar- memasuki rumah bersama Hilya.

"Baik mbak, mas Fawaz mana mbak? Bawa oleh-oleh ngak?" Mendapat anggukan dari iparnya, Hilya lari begitu saja dengan membawa Atha di gendongannya.

Sedangkan Nafis hanya menggelengkan kepala saja atas kelakuan adik dari suaminya itu yang kekanak-kanakan.

Di sisi lain Fawaz yang melihat adiknya yang berlarian merasa khawatir. Bukan, bukan khawatir tentang adiknya melainkan khawatir tentang anaknya yang bisa saja jatuh akibat ulah Hilya.

"Hilya jangan lari!" Gertak Fawaz

Hilya yang di gertak seketika nurut. Bagaimana tidak nurut, kakak yang satu itu kalo marah ganasnya kelewat singa ngamuk. Nyeremin pokoknya. Hilya yang dibentak aja pernah nagis semalaman. Berbeda dengan mbak Nazra yang kelewat baiknya.

"Oleh-olehnya mana?" Ucap Hilya dengan membawa Atha ke sofa untuk duduk bersama keluarganya.

"Udah jangan dimarahin adek kamu, pulang bukannya di sayang malah kena omel" Hilya yang mendengar penuturan ayahnya malah menjulurkan lidah ke kakaknya.

Hilya adalah anak terakhir yang amat disayang oleh ayahnya, semenjak kecil Hilya sudah kehilangan sosok ibu yang sangat Hilya sayangi.

"Yah jangan di belain terus! Gimana suaminya nanti kalau sikapnya aja kayak gitu"

Nafis yang melihat itu hanya menenangkan suaminya. Sebenarnya Fawaz itu sayang sama adik-adiknya tapi berbeda aja cara mengungkapkannya.

Hilya yang diomeli jadi ingat, dulu waktu Hilya kecil kedingainan dia jadi ragu kalau Fawaz yang menyelimutinya saat dia pura pura tidur di kamar kakak laki-lakinya itu.

"Ini ada apa kok ribut-ribut," sesosok gadis berjilbab soft cream itu datang membawa kehangatan keluarga.

Ini yang Hilya suka dari kakak keduanya, sudah cantik, baik, sholehah, sayang anak yatim, gak pernah marah apa lagi coba yang kurang.

"Ini mbak Nazra, padalah aku cuma lari-lari doang masak dimarahin" adu Hilya pada kakaknya.

"Udah-udah jangan bertengkar ayo makan dulu" putus ayahnya menengahi pertengkaran antara tiga bersaudara.

Mereka pun bersama-sama menuju ruang makan. Tidak ada yang berbicara saat makan hanya dentuman sendok yang terdengar.

Setelah selesai makan Hilya pun membantu mbak Nafis memcuci piring sedangkan mbak Nazra membersihkan meja makan.

"Ya nanti ikut mbak ke panti ya, bantuin mbak buat makanan, sekalian nanti sama cuci baju" ucap mbak Nazra sambil membawa piring kotor ke wastafel. Hilya mengangguk semangat.

"Masih buka catering sama laundry ya Na?" Ucap mbak Nafis dengan masih fokus ke cuciannya.

"Iya mbak, alhamdulillah usahanya makin maju, semenjak temen-temen Hilya posting ke media sosialnya jadi banyak orderan" mbak Nazra menerima piring bilasan dari Hilya dan menaruhnya ke tempat rak piring.

"Alhamdulillah, kalau repot bisa mbak Nafis bantu ya? Nanti Atha juga bisa dijagain kan sama anak panti."

"Ngak usah mbak, mbak kan juga harus jaga tante di rumah," tolak Nazra halus. Hilya merasa jadi obat nyamuk antara kakak-kakaknya.

Setelah selesai dengan cucian piringnya, Hilya pun langsung keluar rumah menuju panti, tidak lupa dia memberi tahu Nazra terlebih dahulu.

Jarak antara rumah dengan panti sangatlah dekat. Hilya hanya akan berjalan beberapa langkah saja untuk sampai di sana, pasalnya panti hanya berada di samping rumahnya itu.

Di depan pintu pagar panti mulai terdengar risuh anak-anak yang sedang bermain, ada pula anak yang sedang belajar dengan di bantu yang lain.

Hati Hilya menghangat melihat itu, betapa lusuh dulu saat mbak Nazra membawa mereka semua ke rumah dan membujuk ayah untuk merawat mereka semua.

Dengan penuh tekat mbak Nazra pun akhirnya mendirikan panti yang sudah berjalan hampir tiga tahun ini dengan modal yang diberikan ayah dulu.

"Dek kenapa masih di depan gerbang, ayo masuk" Hilya yang dikejutkan mengangguk dan ikut masuk ke dalam panti.

Hilya dan Nazra hampir tidak pernah bertengkar, justru merekalah saudara terakur yang pernah ayahnya bilang. Berbeda dengan Fawaz yang selalu bertengkar dengan Hilya, ada masalah sedikit bertengkar, apa-apa bertengkar jarang sekali mereka akur.

...

Seorang gadis SMA memasuki ruangan papanya dengan perasaan gembira, di sana dia bersenandung ria ingin menemui papanya.

Di saat itu juga ia memdengar percakapan papanya yang sedang berdebat dengan kakaknya.

"Papa nyuruh ke sini buat ngomong beginian? Abid ngak setuju pa!"

"Tenangin diri kamu dulu" Abid pun duduk dengan emosi tak tertahan.

"Kamu tau kan om Arif?" Tanya Irsyad memelankan suaranya. Abid yang ditanya papanya hanya mengiyakan saja.

"Disaat orang lain tidak ada yang bantu keluarga kita, kamu tau kan yang dilakukan om Arif?" Sekali lagi Abid hanya mengiyakan ucapan ayahnya.

Bagaimana Abid tidak tau, hanya om Ariflah yang mau menangani kasus adik satu-satunya itu dengan resiko ia harus dipecat karena membela adiknya.

Abid tidak akan pernah melupakan kebaikan om Arif, karena om Ariflah yang sudah mengembalikan senyum yang terukir di bibir adiknya itu.

Tanpa om Arif adiknya tidak akan seperti sekarang. Trauma yang dihadapinya dulu sangat menghancurkan hidupnya. Bahkan Abid tidak akan pernah melupakan perbuatan si bajingan Reno yang telah melakukan pelecehan terhadap adiknya.

"Tapi pa aku tau papa ingin balas budi, tapi apa hanya perjodohan jalan satu-satunya? Nggak mungkinkan aku nikah sama anaknya om Arif yang nggak aku sayang, bahkan aku sendiri ngak tau siapa orang yang akan jadi istriku nanti." Jelas Abid panjang lebar.

Di balik pintu Bilqis yang mendengar penuturan kakaknya syok. Karena dirinya lah kakaknya harus kena imbasnya, karena ia yang punya hutang budi kakaknya harus dijodohkan.

Bilqis pun memasuki ruangan tersebut dengan perasaan bingung, ia tidak mau kakaknya kena imbasnya tetapi ia juga tidak ingin mengecewakan om Arif yang sudah memenangkan kasusnya dulu.

"Bilqis kapan ke sini?" Mendengar penuturan ayahnya Abid segera menoleh ke Adiknya yang masih memegang kenop pintu.

"Udah dari tadi?" Ucap papanya dengan menghampiri Bilqis dan membawanya ke sofa ruangan.

"Emmm pa tadi papa mau ngapain minta Bilqis dateng" Bilqis mengalihkan pembicaraan, ia tidak ingin suasana jadi canggung akibat ia datang.

Setelah mereka berdua duduk Abid pun berdiri, "maaf pa Abid harus periksa pasien dulu, yang tadi bisa diomongin di rumah nanti," Abid pun meninggalkan ruangan papanya, meninggalkan papanya yang ada urusan dengan adiknya.

...

Segitu dulu ya!

WARNING

Typo bertebarang tolong kerja samanya ya kawan kawan.

Jodoh MutlakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang