Prolog - Bercak Merah

62 4 0
                                    


Seorang gadis berambut merah menyala—bernama Riana, berjalan sedikit berlari sambil menyingkapkan pakaiannya. Ia mempercepat langkah kakinya seolah sedang berkejaran dengan langit yang akan menggelap. Petang hampir sempurna tiba, ditandai dengan hilangnya semburat oranye yang tergantikan dengan awan gelap berwarna ungu kehitaman. Riana terlalu asik menghabiskan waktu di kebun untuk mempersiapkan panen yang akan datang beberapa hari ke depan, hingga ia lupa waktu untuk pulang sebelum malam hari.

Dengan napas sedikit terengah-engah, Riana tiba-tiba terhuyung dan jatuh, tidak sengaja menabrak sesuatu yang besar. "AAHHH!!" Riana terbelalak, ia segera menutup mulutnya rapat-rapat dengan kedua tangan, tidak percaya dengan apa yang ada di depannya. Dengan tubuh yang gemetar, ia berusaha untuk bangkit.

Seorang laki-laki tergeletak lemah tak berdaya, berlumuran darah yang tampak sudah mengering di sekujur tubuh dan pakaiannya. Terlihat sangat mengerikan! Dengan hati-hati, Riana menyentuh wajah laki-laki itu, mengamatinya dengan saksama, barangkali ia mengenal sosok yang terbaring di depannya tersebut. Selain mengamati wajahnya, ia juga menempelkan telinga kanannya pada dada bidang laki-laki yang tak berdaya itu, memeriksa apakah detak jantungnya masih terdengar.

"... Ia masih hidup," ucapnya lirih. Riana berdiri dan menengok ke segala arah, mencari-cari apa saja yang bisa menjadi petunjuk, tetapi usahanya sia-sia. Manik hijau itu hanya mendapati hamparan ilalang yang bergoyang tertiup angin musim semi dan semburat ungu kehitaman yang hampir sempurna memenuhi langit senja.

"Apa yang harus aku lakukan?" Riana memandangi laki-laki itu sekali lagi dengan kebimbangan, ia belum pernah mengalami kejadian seperti ini selama delapan belas tahun hidupnya.

Riana tidak bisa berpikir lama-lama. Jika ia tidak pulang sekarang, kemungkinan ia tak akan bisa kembali karena gelapnya malam menyulitkan untuk melihat jalan pulang. Dengan pikiran dan perasaan yang kacau, ia segera mengangkat tubuh laki-laki itu, merangkulkannya agar lebih mudah dibawa. Ia berjalan tertatih-tatih, mengangkat tubuh yang besar dan berat, sangat berbanding terbalik dengan dirinya.

Sungguh gila! Jika saja keadaan tidak mendesak, mungkin ia akan meninggalkan sosok lemah itu di sana. Namun, bisikan hati kecilnya seakan memintanya untuk menolong laki-laki itu. Entahlah, apa pun alasannya, Riana berharap keputusannya tidak salah.

****

"Apa yang telah aku lakukan?" Riana resah, berjalan mondar-mandir sambil sesekali melirik ke arah laki-laki yang terlilit perban di bagian atas tubuhnya. Ia baru saja selesai mengobati luka laki-laki itu sebisanya.

"Aku sudah gila, membawa seseorang yang tidak aku kenal ke dalam rumahku." Ya, bisa dikatakan Riana telah kehilangan akal, ia membawa orang tak dikenal masuk ke rumahnya, padahal ia tinggal sendirian di sana.

Berbagai pikiran negatif juga melintas, berkelebat masuk memenuhi benaknya. "Siapakah dia? Apakah dia perampok?"

"Arghh... bodoh!" Riana memukul pelan dahinya, membayangkan jika orang yang ia bawa adalah seorang perampok, dan ia malah menolongnya.

****

Cerita ini berlatar abad pertengahan, mungkin akan ada beberapa hal yang tidak sesuai pada waktu tersebut.

Waiting For Lover (Menanti Kekasih)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang