Selamat Membaca!Riana meringkuk di atas kasur, harapannya runtuh karena rasa lapar merayap perlahan dalam dirinya. "Menyebalkan!" umpatnya kesal saat memikirkan lelaki yang berada di rumahnya, jika saja bukan karenanya, mungkin ia tak akan kelaparan seperti ini. Dengan perut yang keroncongan, Riana melangkah lambat menuju pintu kamar, berusaha menahan rasa lapar yang menyiksa. Ia bertekad pergi ke dapur, berharap bisa menikmati teh hangat atau menjumpai makanan apa pun untuk mengisi kekosongan perutnya.
Suasana rumah di malam hari terasa sangat sepi, hanya suara nyala api dan lolongan binatang malam yang sayup-sayup terdengar dari kejauhan. Hal itu adalah alasan terkuat mengapa Riana tidak ingin pulang larut, bayangan ia akan bertemu binatang buas dan menerkamnya, menghantui pikirannya. Meskipun kemungkinan bertemu binatang buas kecil, rasa takut itu tak pernah sirna dari pikirannya, apalagi tempat tinggalnya terletak di tengah hamparan ilalang, lumayan jauh dari pemukiman tetapi tidak dekat dengan hutan. Tidak ada alasan lain mengapa Riana memilih tinggal sendiri di sana, semua itu berakar dari peristiwa satu tahun yang lalu, saat ia berusia tujuh belas tahun.
Saat langkah kaki Riana mendekati dapur, ia mendengar suara nyala api yang berbeda, jelas bukan dari nyala api lampu minyak, suaranya terlalu berisik dan membara. Rasa cemas disertai takut langsung menyergapnya, bercampur dengan rasa penasaran yang menggebu. Riana memperlambat langkah kakinya agar tak terdengar, ia berusaha mengendap-endap, berpikir siapa yang berada di dapur. Tidak mungkin hantu, bukan?
"SIAPA KAU?" Jeritan itu meluncur tanpa bisa ditahan dari mulut Riana. Sosok laki-laki bertubuh tinggi dengan balutan kain berwarna putih menoleh dan memutar badannya menghadap Riana. Salah satu alisnya terangkat, menandakan keheranan, sebelum ia meledakkan tawa.
"Apa yang menggelikan?" Riana mencebikkan bibirnya, merasa sangat bodoh. Bagaimana mungkin ia lupa bahwa di rumah ini tidak hanya dirinya seorang.
Lihatlah wajah yang menggemaskan itu! Ivander tertawa, ia tidak bisa menahan gelaknya meski rasa nyeri menjalari tubuhnya. "Kau sangat ketakutan," ledeknya.
"Lagi pula, kenapa kau tidak bersuara?"
"Bersuara? Apa yang harus aku lakukan sendirian di sini, berbicara dengan tungku?"
"Bukan begitu maksudku, tapi..."
"Baiklah, maafkan aku yang sudah membuatmu ketakutan." Ivander memotong ucapan Riana, ia lalu kembali melanjutkan kegiatan masaknya yang sempat terhenti.
"Apa yang sedang kau lakukan? Kau memasak?" Riana melangkah mendekat untuk melihat apa yang sedang Ivander masak dengan periuk yang mendidih.
"Sup sayur dan buah."
"Apa? Sup sayur dan buah?"
Ivander mengangguk. "Aku hanya menemukan sayuran dan buah-buahan saja di sini. Kau tidak punya daging?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Waiting For Lover (Menanti Kekasih)
Romance⚠️DILARANG KERAS PLAGIAT⚠️ Senja kala itu menjadi awal pertemuan yang tak terduga, seolah takdir mengisyaratkan bahwa dialah Sang Penyelamat bagi Kesatria Barat. Hatinya tergerak untuk menolong sosok pemuda berlumur bercak merah di seluruh tubuhnya...