2 - Makan Malam

24 2 0
                                    


Riana meringkuk di atas kasur, harapannya runtuh karena rasa lapar merayap perlahan dalam dirinya. "Menyebalkan!" umpatnya kesal saat memikirkan lelaki yang berada di rumahnya, jika saja bukan karenanya, mungkin ia tak akan kelaparan seperti ini.

Dengan perut yang menggeliat, Riana melangkah lambat menuju pintu kamar, berusaha menahan rasa lapar yang menyiksa. Ia bertekad pergi ke dapur, berharap bisa menikmati teh hangat atau menjumpai makanan apa pun untuk mengisi kekosongan perutnya.

Suasana rumah di malam hari terasa sangat sepi, hanya ada suara nyala api dan lolongan binatang malam yang sayup-sayup terdengar dari kejauhan. Hal itu adalah alasan terkuat Riana tidak ingin pulang larut, bayangan ia akan bertemu binatang dan menerkamnya, menghantui pikirannya. Meskipun kemungkinannya kecil, rasa takut itu selalu ada, apalagi rumah ini terletak di tengah hamparan ilalang, lumayan jauh dari pemukiman, namun tidak dekat dengan hutan. Tidak ada alasan lain mengapa Riana memilih tinggal sendiri di sini, semua itu berakar dari peristiwa satu tahun yang lalu, saat ia berusia tujuh belas tahun.

Saat langkah kaki Riana mendekati dapur, ia mendengar suara nyala api yang berbeda, jelas bukan dari nyala api lampu minyak, suaranya terlalu berisik dan membara. Rasa cemas disertai takut langsung menyergapnya, bercampur dengan rasa penasaran yang menggebu. Riana memperlambat langkah kakinya agar tak terdengar, ia berusaha mengendap-endap, berpikir siapa yang berada di dapur. Tidak mungkin hantu, bukan?

"SIAPA KAU?" Jeritan itu meluncur tanpa bisa ditahan dari mulut Riana. Sosok laki-laki bertubuh tinggi dengan balutan perban putih menoleh dan memutar badannya menghadap Riana. Salah satu alisnya terangkat, menandakan keheranan, sebelum ia meledakkan tawa.

"Apa yang menggelikan?" Riana mencebikkan bibirnya, merasa sangat bodoh. Bagaimana mungkin ia lupa bahwa di rumah ini tidak hanya ada dirinya seorang.

Sungguh, wajahnya sangat menggemaskan! Ivander tertawa, ia tidak bisa menahan gelaknya meski rasa nyeri menjalari tubuhnya. "Kau sangat ketakutan," ledeknya.

"Lagi pula, kenapa kau tidak bersuara?"

"Bersuara? Apa yang harus aku lakukan sendirian di sini, berbicara dengan tungku?"

"Bukan begitu maksudku, tapi..."

"Baiklah, maafkan aku yang sudah membuatmu ketakutan." Ivander memotong ucapan Riana, ia lalu kembali melanjutkan kegiatan masaknya yang sempat terhenti.

"Apa yang sedang kau lakukan? Kau memasak?" Riana melangkah mendekat untuk melihat apa yang sedang Ivander masak dengan periuk yang mendidih.

"Sup sayur dan buah."

"Apa? Sup sayur dan buah?"

Ivander mengangguk. "Aku hanya menemukan sayuran dan buah-buahan saja di sini. Kau tidak punya daging?"

"Aku tidak bisa berburu dan aku juga takut dengan binatang seperti itu."

"Aku tidak memintamu berburu untuk mendapatkan daging. Apa kau tidak punya uang untuk membelinya?"

Riana segera menggeleng. "Aku punya uang, hanya saja ... aku memang jarang pergi ke pasar." Ivander mengangguk, tanda mengerti, lalu kembali sibuk mengaduk sup buatannya. Riana yang berdiri tepat di sampingnya kemudian menjauh dan duduk di kursi terdekat sambil memegangi perutnya.

Meski sibuk memasak, Ivander tidak akan lengah sedikit pun dengan apa yang ada di sekitarnya, termasuk gerak-gerik Riana. "Kau lapar?"

"Tidak." Riana menggeleng, merasa malu jika harus mengakui bahwa perutnya keroncongan.

"Lalu, mengapa kau di sini?"

"Apa aku tidak boleh datang? Ini rumahku!"

"Baiklah, Nyonya." Untuk saat ini Ivander berkesimpulan bahwa Riana tidak berbahaya dan bukan musuh baginya. Ia juga sedikit lebih santai daripada sebelumnya, mungkin karena raut wajah ketakutan Riana yang terlihat menggemaskan dan menghiburnya.

Waiting For Lover (Menanti Kekasih)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang