[8] Aysa: Knowing the Source

43 11 0
                                    

13 Januari 2021

Aku menghela napas berat, duduk menyandar ke dinding koridor ruang kelas. Menunggu temanku yang hari ini memaksa untuk makan siang bersama.

Aku sudah terlalu sering menolak, berkelit mencari banyak alasan. Mulai dari kucingku di rumah terjepit pintu dan harus segera kutolong sampai adikku yang tertabrak mobil (mobil-mobilan) dan harus segera ditolong juga (yang mana dalam kasus sebenarnya kutendang). Aku tidak punya alasan lagi kali ini.

Selain tidak punya alasan, aku juga sudah membuat sebuah kesepakatan dulu sebelumnya dengan dia. Dia memberiku sebuah informasi penting tentang berita terbaru yang akhir-akhir ini viral, sementara gantinya aku harus mentraktirnya makan siang (yang mana aku tahu pasti tidak sedikit makannya).

Oh, shit. Uang tabunganku kasihan sekali.

Ponselku berdering dari dalam tas ketika aku sibuk memeluk lutut dan membenamkan kepala di sana, seperti orang stres, mengabaikan tatapan orang-orang.

"Apa? Di mana lo? Jadi nggak nih? Lama amat. Pulang duluan, ya, gue." Aku menghela napas pelan, "Ya udah, okey. Fine! Gue langsung ke kantin aja nih ceritanya? Bulengcek luh. Bilangnya mau jemput gue ke kelas, taunya gue di suruh pergi sendiri. Bye!"

Aku segera berdiri. Memasukkan ponselku ke dalam tas lagi kemudian berjalan ke arah kafetaria kampus fakultas farmasi dengan ogah-ogahan.

Tidak menunggu lama, akhirnya aku menemukan sosok manusia yang melambai-lambai ke arahku sambil tersenyum lebar.

"Sorry, ya, Sa. Gue baru keluar dari labor, nih. Terus laper banget, terus akhirnya gue langsung lari ke kafetaria, terus gue udah pesen makanan duluan, terus gue--ngajak temen. Soalnya kalau berdua doang entar yang ketiganya setan. Kan, serem. Wehehe."

Aku memutar bola mata, menatap Riki yang kini memasang cengiran lebar menunjuk perempuan di sampingnya, yang kemudian kuamati sebentar secara diam-diam, yang kini tersenyum ramah padaku.

"Ya udah, sih. Terus gimana sama penelitian lo?"

"Ya ... begitu. Eh, BTW kenalan dulu, dong. Aysa, kenalin ini Aes. Lo pasti tau lah Mastah Demo ini. Aes, ini temen gue Aysa. Anak psikologi tapi dianya sendiri sakit jiwa."

Aku nyaris melemparkan ponselku ke kepala Riki kalau saja tidak ingat ini kado ulang tahun dari Mama. Jadi, aku hanya menyeruput jus jeruk di atas meja entah milik siapa--kuduga milik Riki karena dia segera memelototiku setelahnya.

"Aysa," kataku setelah meminum separuh jusnya dan mengulurkan tangan pada Aes sambil tersenyum ramah, "enggak usah di dengerin dia. Kelamaan di labor makan zat-zat kimia makanya begitu."

Aes tertawa, kemudian mengangguk-ngangguk. "Ya, aku paham, kok. Meski nggak di labor sekali pun, dia emang rada-rada," katanya.

Lalu kami mulai membicarakan apa saja saat makan.

Ngomong-ngomong, mengingat nama Aes, aku jadi ingat sesuatu tentang Aes juga. Bukan Aes yang ini, tetapi Aes yang suka menulis-nulis di blog dan website-nya terkait kasus-kasus Superserum dan konspirasi PT WU Panakeia. Semakin dipikirkan, tiba-tiba aku jadi semakin yakin kalau Aes yang ini adalah Aes yang sama.

Jadi, karena aku tiba-tiba penasaran, aku memutuskan untuk sedikit memancing.

"Ngomong-ngomong, kalian, nih, anak farmasi, kan, ya? Pahamlah, ya, sama bahan obat-obatan gitu. Kalian pasti udah denger tentang serum terbaru WU Panakeia. Menurut kalian gimana tuh sama tuh serum? Kan lagi banyak kontroversinya tuh."

Aku menyuap lagi nasi gorengku ke mulut, setelahnya menatap mereka menunggu.

"Gue, sih, ow aza ya kan. Soalnya gue nggak make serumnya, enggak kena dampaknya juga, jadi ya enggak peduli-peduli amat." Riki menjawab sambil menyendok bakso mangkok keduanya tanpa menoleh dan hanya mengangkat bahu sedikit. Benar-benar tidak peduli.

Sementara itu, seseorang di samping Riki malah bereaksi sebaliknya. Memang tidak kentara. Namun, aku tahu ada yang aneh di sana. Aes berhenti menyendok sebentar, mengangkat kepalanya dengan raut yang bisa kukatakan agak sedikit marah. Namun, dia begitu pandai mengendalikan ekspresi wajah, jadi dia ikut-ikutan mengangkat bahu dan menyendok makanan lagi.

Pura-pura tidak peduli. Tapi aku juga tidak peduli, karena aku sudah dapat apa yang aku inginkan.

Itu benar-benar dia. Aes si sumber berita ada di depan mata.

Timbunan DosaWhere stories live. Discover now