Tetangga oh tetangga

27 10 13
                                    

Hari ini Sekar tengah berbahagia. Adit, pria yang sudah berkomitmen dengannya selama empat tahun itu melamarnya. Pernikahan itu memang belum ditentukan tanggalnya. Namun Sekar sudah sangat bahagia dengan lamaran Adit. Setidaknya, penantiannya selama empat tahun berbuah manis.

"Kalau sudah tunangan jangan lama-lama, nanti tidak jadi." Salah seorang tetangga berbisik pada Sekar setelah acara selesai.

Sempat kepikiran dengan apa yang disampaikan oleh tetangganya. Namun akhirnya Adit selalu meyakinkannya jika semua akan berjalan sesuai dengan rencananya.

Semakin hari rasa cinta Sekar tumbuh kian membesar. Ia sudah mendambakan menjadi istri dari pria yang ia cintai. Setiap kali Sekar bertanya tentang tanggal pasti, ujungnya pasti selalu bertengkar.

"Sekar, aku mencintaimu. Aku juga ingin menikahimu. Tapi aku belum lulus kuliah. Bagaimana aku bisa menikahimu dengan statusku yang masih sebagai mahasiswa?" ucap Adit.

Sekar menangis. Desakan dari keluarganya yang membuat ia harus terus memaksa Adit untuk memberi kepastian.

"Tapi keluargaku butuh kepastian Mas," jawab Sekar.

"Aku sudah melamarmu. Tidak mungkin aku melamarmu kalau aku tidak akan menikahimu. Jadi kamu tenang saja," ucap Adit.

Sekar tidak ingin masalah ini semakin besar. Ia menyudahi panggilannya. Menangis, adalah jalan satu-satunya untuk ia bisa meluapkan emosinya.

"Sudah ditanyakan sama Adit?" tanya Bu Ratna.

"Bu, nanti Mas adit pasti akan menentukan tanggalnya," jawab Sekar.

"Nanti itu kapan?" tanya Bu Ratna.

Ya, memang sudah berkali-kali Sekar menjawab pertanyaan ibunya dengan kata nanti. Kata yang tidak menggambarkan jawaban apapun sebenarnya. Namun apa boleh buat? Ia hanya bisa menjawab kalimat itu.

"Aku berangkat kerja dulu ya bu!" ucap Sekar.

"Kebiasaan. Kalau ibu bahas soal tanggal pernikahan, kamu pasti kabur." Bu Ratna menggelengkan kepalanya.

Tidak ingin berdebat terlalu lama, Sekar segera meraih tangan bu Ratna dan menciumnya. Setelah itu ia segera pergi berlalu sambil melambaikan tangannya.

Sekar memang tidak kuliah. Ia menjadi pelayan di toko buku. Usianya hanya terpaut enam bulan dengan Adit. Saat usia dua puluh dua tahun sudah matang bagi Sekar, Adit justru menganggap masih banyak waktu untuk menata masa depannya.

"Aku harus bagaimana ya? Mas Adit belum memastikan tanggalnya," gumam Sekar.

Lamunan Sekar buyar setelah pembeli mulai mendatangi tokonya. Ia mulai fokus dengan pekerjaannya. Berusaha menyingkirkan pikiran buruk ucapan tetangganya.

"Kar, kapan nikah? Ini sudah hampir setahun loh," ucap tetangganya saat Sekar pulang dari tempat kerjanya.

Sekar hanya tersenyum tanpa bisa menjawab ocehan tetangganya. Ia bahkan sudah menutup telinga dari berbagai gosip yang menerpanya. Lelah fisiknya tidak seberapa jika dibanding dengan lelah psikis yang tengah ia alami.

Berusaha tegar di tengah kegelisahan hatinya, akhirnya Sekar mendapat titik terang. Adit akan menikahinya asalkan Sekar tidak banyak menuntut. Rasa cinta pada Adit dan ketidaktahuannya tentang pernikahan, membuat Sekar mengiyakan semua persyaratan Adit.

Pernikahan digelar setelah sepuluh bulan pertunangannya. Hari bahagia itu digelar dengan cukup mewah. Uang tabungan Sekar habis ia gunakan untuk momen bersejarah itu.

SAH

Ucapan yang terdengar begitu indah itu membuat mata Sekar berkaca-kaca. Akhirnya semua mimpi itu terwujud. Tidak akan ada lagi pertanyaan yang membuat dadanya sesak.

MaafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang