Malang. Malam penuh guncangan hebat itu rupanya gempa kuat . Kejadiannya tiba-tiba, cepat, tapi penuh akibat. Aku sempat kehilangan kesadaranku. Bukan tanpa alasan aku kehilangan kesadaran itu. Listrik padam tiba-tiba. Benda asing di dalam tubuhku ini berhenti bekerja tiba-tiba.
Begitu aku sadar, pemandangan menyesakkan mata itu terlihat. Rumah berantakan, separuh langit-langit ruang tengah ambruk, dan ternyata serpihan nya menimpa Andri yang belum sempat berlari menyusul Kakak dan Adiknya keluar. Ya, itulah penyebab ajal Andri . Kejadian itu berlangsung saat aku tak sadarkan diri. Beruntung langit-langit sekitar tubuh putihku melekat tidak ikutan runtuh. Aku tau cerita menyedihkan ini dari Indra yang bercakap dengan orangtuanya melalui telepon. Bagian rumah lain selain langit-langit tak banyak mengalami kerusakan. Maaf Andri. Tak sempat ku teriakkan padamu bahwa langit-langit rumah akan runtuh. Saat itu aku benar-benar tak sadarkan diri. Lagi pula, aku juga tak bisa berbicara, bahkan hanya untuk menyapamu.
Aku tak tau kemana Indra dan Arin lepas peristiwa ini. Barang-barang juga tak diperbaiki letaknya. Apalagi langit-langit rumah yang runtuh, tak diperbaiki sedikitpun. Aku merasa sendiri.
Beberapa hari kemudian, ku dengar suara mobil mendekati halaman rumah. Ku harap itu Arin dan Indra. Ternyata benar. Tapi mereka datang bersama seorang lelaki berumur sekitar lima puluh-an yang mirip dengan Indra. Dan satu lagi, Seorang perempuan yang cantik dan terlihat masih muda meskipun keriput halus itu tidak bisa disembunyikan.
" Ini, Pa, tempatnya " Indra menunjuk serpihan langit-langit yang runtuh dan tergeletak di lantai. Tempat Andri dijemput ajalnya. Perempuan yang ternyata Mama mereka itu mulai mengeluarkan air mata dari mata nya yang sudah sangat sembab. Arin ikut menangis. Yang lain terdiam. Aku juga ingin menangis.
" Hari ini kemasi barang kalian yang masih layak dipakai, nak " Papa berkata sambil memandangi sekeliling rumah. Indra hanya mengangguk . Papa berjalan keluar, tak tahan ia membayangkan kejadian yang merenggut nyawa anak keduanya itu. Mama juga berjalan keluar sambil diiringi tangis .
Dua orang yang bertubuh besar kemudian masuk, " Yang mana yang perlu saya angkat, Mas Indra? " salah satu dari mereka bertanya
" Nanti Mas, kami liat barang-barangnya dulu " Indra berkata, pelan sekali. Kedua lelaki itu mengangguk lantas berjalan keluar. Sementara Indra dan Arin masuk ke kamar mereka masing-masing.
Tak banyak barang yang mereka pilih untuk digunakan kembali. Pakaian yang masih layak dan buku-buku sudah dipak rapi. Barang elektronik ada beberapa yang masih bisa terpakai dan dibawa, sisanya tak berfungsi lagi. Sofa, tempat tidur, atau meja-meja yang tak berbentuk lagi akan diurus belakangan. Indra dan Arin berkemas dengan dalam diam.
Aku memandangi mereka berdua. Kali ini aku tak mau mengelak untuk tidak melihat mereka. Ini mungkin akan jadi kali terakhir aku melihat mereka. Barang-barang mereka sudah dikemasi, mereka akan pergi dan tinggal bersama orangtua mereka . Entah dimana. Yang pasti bukan disini. Aku hanya tak bisa membayangkan apa yang terjadi denganku setelah mereka tak disini lagi. Apakah rumah ini akan dibiarkan tak berpenghuni? Atau semua bangunan rumah ini akan diratakan dengan tanah? Entah. Aku pasrah. Berserah.
Hari sudah sore. Sepertinya semua barang sudah di angkut. Sekarang Arin dan Indra terdiam, tapi saling bergenggaman tangan di tengah ruangan rumah. Mereka memandangi sekaliling rumah. Pandangan yang penuh arti. Aku tau itu. Pandangan perpisahan. Ironis.
" Selamat tinggal rumah, selamat tinggal semua, kami akan pergi .... " dengan kekanak-kanakan Arin berkata pelan.
" Bertahun-tahun kita tinggal disini. Kembali ke rumah Mama dan Papa sama saja memulai sesuatu yang baru. Memulai sesuatu dari awal lagi " Indra berkata pelan nyaris berbisik
" Nak, yuk kita pulang. Sudah sore, nak " Papa tiba-tiba menghampirimereka dari belakang.
" Papa tau rasanya sulit. Tapi lama-lama kalian pasti bisa " Papa berkata sambil menepuk pundak kedua anaknya .
Baiklah. Ini yang terakhir kali aku melihat mereka. Selamat tinggal Arin. Selamat tinggal Indra. Terimakasih untuk beberapa bulan yang penuh warna selama aku menjalankan tugas menjadi lampu di rumah ini. Meskipun baru saja kalian buat aku sakit hati, tapi entah kenapa sakit hati itu kini tertutupi rasa tak mau berpisah. Maaf jika aku labil. Kemarin membencimu sekarang tak rela melepasmu. Inilah aku, Indra. Aku ingin kau ucapkan salam perpisahan terkahir untukku. Untuk aku yang mengagumi mu dalam ketidakpantasan ku .
Arin membuang nafas panjang " Selamat tinggal semua " ucapnya sekali lagi. Kemudian dia pergi bersama Papa keluar rumah. Meninggalkan rumah.
Tinggal Indra sendirian. " Selamat tinggal dinding, selamat tinggal langit-langit, selamat tinggal...lampu " bisiknya lalu berjalan keluar.
Terimakasih salam perpisahan itu Indra. Terimakasih memasukkan aku dalam salam perpisahan itu. Aku lupa sakit hatiku kemarin. Aku mulai jatuh hati. Lagi.
Aku. Lampu. Berjanji akan terus mengingatmu. Dan menyimpan rasa tersembunyi buatmu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sinar Lampu
Short StorySemua ini kemalanganku. Kemalangan ku yang hanya bisa melihat tanpa bisa menyentuh mereka semua. Di tengah keramaian ini aku hanya partikel kecil yang terlupakan. Ah... sudahlah. Untuk apa pula mereka mengetahui keberadaan ku. Toh, jika semua energ...