Bab 3

10 2 0
                                    


Arega melempar bungkus permen karetnya ke punggung Arel. Dibalas Arel dengan pura-pura akan meludah ke Arega. Dua pemuda itu tertawa sembari keluar dari kantin yang berada di samping lapangan.

"Lama kali Senin, Rel. Nggak ada nampak matamu yang cantik di sini?" Arega memasukkan tangan ke saku celana abu-abunya. Membawa tatapan berkeliling, ia mengunyah malas.

"Matamulah. Kau mata-matakan orang tua." Pemuda rambut keriting itu ikut-ikutan menatap sekitar. Jam istirahat, harusnya tidak sulit menemukan yang dicari.

"Bang Re!"

Panggilan itu membuat Arega berhenti berjalan. Ia mengulas senyum pada siswi cantik yang menghampiri.

Siswi itu, Melati. Setelah berdiskusi dengan Jelita , ia memberanikan diri mendatangi Arega siang ini. Tujuannya, meminta nomor telepon si kakak kelas.

"Aku Melati, Bang." Mengulurkan tangan, si gadis menjerit dalam hati saat Arega menjabat tangannya.

"Arega." Menaikkan sedikit dagu, Arega melirik pada Arel.

"Habis dari kantin, Bang?" Pengantar dulu, pelan-pelan, tak lupa senyum manis jangan luntur. Melati bersungguh-sungguh.

Yang ditanyai mengangguk saja. Ia sengaja menatapi wajah Melati berlama-lama. Tersenyum puas, kala gadis itu tampak merona dan sesekali menghindari bertemu mata.

"Gini, Bang ...." Melati menggaruk kepala. Ketenangan yang sejak tadi coba dibangun runtuh seketika. Efek dipandangi Arega tidak main-main.

"Gitu, Dek." Tawa pelan Arega perdengarkan. Sungguh, ia suka kondisi seperti ini.

Melati menutup mulut dan tertawa. Wajahnya merah sepeti tomat. Gadis itu mengeluarkan ponsel dari saku rok. Memberikannya pada Arega dengan kepala menunduk. "Minta nomor telepon Abang."

Tidak dilihat Melati, Arega melempar senyum sesumbar pada Arel. Temannya itu merespon dengan memutar bola mata malas.

Arega dan kesombongannya, batin Arel. Ia sebenarnya enggan menyaksikan ini lebih lama, tetapi penasaran juga apa yang akan terjadi selanjutnya.

Arega meraih gawai Melati. Mengetik nomornya di sana, kemudian mengembalikannya.

Senang luar biasa, Melati memberikan senyum lebarnya. "Aku boleh telpon, 'kan, Bang?"

Si kakak kelas mengangguk.

"Makasih." Usai berucap, Melati undur diri. Perempuan itu melangkah riang menuju kelasnya.

"Udah? Udah jantungan?" Arel akhirnya buka suara. Ia bersedekap, memandangi wajah temannya.

Arega menggeleng. "Cantik. Kek biasa." Pemuda itu memasang wajah kecewa. Ia menoleh kanan, lalu mengerutkan kening.

Tidak terlalu jauh dari kantin, ada parkiran khusus sepeda motor guru. Di belakang parkiran itu, ada sebatang pohon jambu besar. Di sana, Arega melihat seorang siswi sedang berusaha mengambil buah dari pohon.

Siswi itu naik ke tumpukan batu bata dan pecahan beton yang sudah disusun. Lengannya yang kurus itu berusaha menggapai daun yang rantingnya dihuni buah jambu air merah sempurna.

"Baru tahu aku jambu ini berbuah," komentar Arega sambil membawa langkah mendekat ke sana.

"Wih, banyak, Re. Cari gala, cari gala." Arel yang melihat ranum-ranum buah di sana ikut antuasias.

"Nggak ada gala. Dibawa Wak Tio pulang." Gadis dengan rambut hitam sedada yang Arega perhatikan tadi berbalik. "Susah ngambilnya, aku nggak nyampe."

Pemuda di samping Arel tercengang. Gadis itu adalah gadis yang kemarin melempar sepatu ke wajahnya. Mendadak ia jadi lebih bersemangat.

"Kenapa dibawa Wak Tio? Biasa ditinggal." Arel mendesah kecewa. Tenggorokannya gagal merasakan segar dan manis dari buah tadi.

Love SomeoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang