Bab 5

7 1 0
                                    

"Yang baca Undang-Undang, kau Feb. Yang Pancasila si Tia."

Di depannya Ari tengah membagi tugas untuk pelaksana upacara Senin nanti, Arega yang berjongkok di pinggir lapangan mengalihkan tatap sebentar dari sang ketua kelas.

Selain kelasnya yang akan melaksanakan latihan sebagai petugas upacara, lapangan sekolah juga sedang dipakai oleh beberapa siswa yang bermain futsal.

Arega yang memang tak kebagian tugas apa-apa, selain sebagai cadangan Ari, memilih fokus ke pertandingan bola kaki saja. Ada Riki juga di sana.

"Sini, Rik!"

Arega menoleh pada yang barusan berteriak. Teman sekelas Riki rupanya. Gavi.

Usai mendapat bola, Gavi yang berada di kiri lapangan segera menggiring si kulit bundar menuju gawang. Lari dan gerakan Gavi lumayan, Arega menilai seraya mengamati.

Satu tendangan dilepas Gavi. Bola itu melesat cepat ke kanan gawang. Gol. Timnya Riki bersorak.

"Re, kau mau latihan dulu jadi pemimpin upacara?"

Ditanyai, Arega menggeleng pada Ari. "Hapal, aku. Hapal."

Latihan itu akan sia-sia, sebab mustahil ia akan menggantikan Ari. Ketua kelas XII Ak2 itu super rajin. Jangankan absen, terlambat saja tidak pernah. Lihat saja seragamnya yang masih rapi, padahal jam sekolah sudah berakhir sejak tadi.

Kembali menatap ke arah lapangan, Arega mendapati bola berhenti menggelinding di bawah pijakan Gavi. Permainan terinterupsi karena pemuda itu berhenti mengoper dan malah menatap ke arah luar lapangan.

Gavi berkacak pinggang, menengok ke arah bangunan kelas. Arega ikut menghadap ke sana, lalu dahinya berlipat.

Ada Seina di sana. Gadis itu sedang bersama Sander, berdiri di pinggir lantai tiga, tempat paling tinggi di sekolah mereka.

Arega terus memperhatikan. Saat Seina di atas sana menoleh pada Gavi, pemuda itu membuat gerakan tangan memanggil.

Masih dari tempatnya berjongkok, Arega bisa melihat Seina menggeleng. Namun, gadis itu akhirnya bergerak menjauh dari pinggir lapangan, karena ditarik Sander.

Permainan bola kembali berlanjut. Arega menghadap ke lapangan lagi, tetapi kali ini bukan pertandingan yang diberinya atensi. Melainkan sosok Gavi.

Sejauh yang Arega tahu, Gavi itu adalah salah satu siswa yang  keluarganya lumayan berada. Pemuda itu mungkin akan naik mobil ke sekolah, jika saja dibolehkan.

Lihat saja penampilannya sekarang. Sepatu hitamnya tampak bersih dan terawat, tidak kucel seperti yang Arega pakai. Kaus abu-abu yang melekat di tubuh tinggi itu terlihat mahal. Gavi juga putih, bersinar terang sampai ke wajah-wajah.

Arega menilik punggung tangannya. Jika kulitnya disandingkan dengan Gavi, pasti seperti teh dan susu. Teman baiknya Seina itu memakai jam di tangan kanan, sedangkan Arega hanya gelang hitam karet mirip ikat rambut perempuan di tangan kiri.

Tiba-tiba saja Arega mengamini ucapan Arel bahwa Gavi bukan orang yang tepat dijadikan saingan.

"Tunggu!" Arega mengangkat telunjuk. "Kenapa aku jadi banding-bandingkan diri sama dia?"

"Apa, Re?" tanya Arel yang tak mendengar jelas ucapan tadi.

Arega menggeleng. Jangan sampai Arel tahu bahwa ia sedang mengalami penurunan rasa percaya diri.

Rombongan yang terpilih sebagai petugas upacara mulai latihan, Arega lebih leluasa menontoni pertandingan futsal. Ia sebenarnya bisa langsung pulang, tetapi pemuda itu malas. Siapa tahu Ridwan masih dalam mode sok mengatur.

"Belum pulang, Sei?"

Suara Arel menarik atensi Arega. Ia menoleh ke kanan, ternyata gadis yang tadi dipanggil Gavi sudah di sana. Ikut duduk di pinggir lapangan, tetapi di sisi yang dipakai untuk bermain futsal.

"Belum." Seina menjawab.

"Kelas klian yang tugas Senin besok?" Pemuda bernama Sander yang berdiri di samping Seina melirik Arega sekilas.

"Iya."

"Cepat kali latihannya. Ini baru Kamis, 'kan?" Seina menggaruk kepala yang tidak gatal karena mengingat sudah hari apa ini.

"Sekalian, Sei. Tadi ada pelajaran olahraga," jelas Arel. Ia beberapa kali menatapi gadis di sampingnya agak lama.

Berpura tak peduli dan mengarahkan tatapan lurus ke depan, Arega mencuri pandang dan dengar pada Seina dan Sander yang entah membicarakan apa.

"Kenapa? Gatal kepalamu karena acara besok?"

"Hm. Kayak mau ngantar nyawa aku besok."

"Memang ada acara apa?"

Terima kasih pada Arel yang menyuarakan tanya itu. Arega menyadari dirinya mulai tertarik pada percakapan itu.

"LKS. Di SMK 7." Sander menunjuk si gadis yang duduk. Ia terkekeh karena perempuan itu melipat dahi, seolah tak nyaman.

"Oh, Seina ikut? Selamat kalau gitu." Arel menepuk tangan sekali. Terlihat sekali rasa kagum dari caranya menatap Seina.

Tawa Sander muncul lagi mendengar itu. "Udah dikasih selamat, Sei. Senyum kek, senang kek."

Seina mengangguk-angguk saja. "Kalian mana ngerti."

"Kenapa? Kau nggak PD?" Arel dengan cepat menangkap arti gelagat Seina. "Sekolah nggak mungkin ngirim kau, kalau nggak yakin. Guru-guru kita pas--"

Seina menyela ucapan itu dengan mengangkat tangan. "Nggak. Jangan kasih aku kalimat motivasi. Jadi mulas."

Mengalihkan pandangan dari wajah gadis itu, Arega meneguk air dari botolnya. Bisa-bisanya ada seseorang yang terlihat manis, padahal sedang cemas.

Tawa Arel terdengar. "Iya. Iya. Semoga berhasil aja kalau gitu. Jajan bakwan kita kalau kau menang, ya?"

"Kau yang bayarin?" todong Seina mendadak antusias.

Merekah sekali senyum di wajah Arel. "Boleh," katanya menyanggupi.

Apa ini yang namanya jangan menilai sesuatu dari luarnya saja? Arega pikir, dari ekspresi datar yang sering Seina tunjukkan, perempuan itu adalah tipe gadis sinis atau sombong. Nyatanya, tidak demikian.

Pada yang bukan sekelas saja, Seina bisa membangun konversasi yang nyaman, ringan dan lucu seperti ini.

Mereka berempat sempat tak bersuara untuk beberapa saat. Seina, Sander, dan Arel menikmati pertandingan bola, sedangkan Arega mencuri-curi pandang pada gadis di antara Sander dan Arel.

Sesekali gadis itu melipat dahi. Lalu menggaruk rambutnya yang sedada. Mendongak untuk menatap langit sore yang bersih dari awan, kemudian kembali fokus pada lapangan.

Arega tak tahu kenapa ia memerhatikan semua itu. Tidak ada yang menyuruh, tidak ada manfaatnya. Namun, pemuda itu suka.

Kembali memalingkan muka pada Seina, Arega melihat gadis itu bicara pada Gavi yang masih ada di lapangan. Tanpa suara, tetapi bisa diketahui apa yang diucap.

Pulang. Seina mengatakan itu.

Tak lama, Gavi terlihat turun dari lapangan. Menghampiri Seina dan Sander, kemudian tiga orang itu beranjak pergi.

"Duluan, Arel."

Arega menatapi semen lapangan. Seina menyebut nama Arel, mendadak ia gelisah. Apa Seina juga mengingat namanya? Mengingat perkenalan mereka di depan meja piket tempo hari lumayan kacau. Arega berkata kotor hari itu.

"Duluan, Re."

Pemuda yang dipanggil membeku untuk sekejap. Ia menoleh pada Seina dengan raut tak percaya. Jadi, gadis itu mengingat namanya? Bolehkah sekarang Arega tersenyum?

Love SomeoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang