Bab 4

9 2 0
                                    

Arega sedang merencanakan akan makan apa di kantin nanti untuk sarapan, saat laju motor dipelankan. Pemuda itu sudah tiba di depan pagar sekolah.

Ia tak sempat sarapan di rumah, karena sudah lebih dulu muak atas kehadiran Ridwan di meja makan. Bukan apa-apa, tadi pagi, ayahnya itu berakting seperti orang tua yang baik.

Ridwan bertanya soal sekolah, jadwal les tambahan dan kapan sekolah akan mengadakan TO. Arega mual mendengarnya. Seolah pria itu peduli saja padanya.

Jika memang Ridwan peduli, maka pria itu tak akan menghancurkan keluarga mereka.

"Dasi, dasi."

Pak Harun menghentikan motor siswanya. Meminta Arega lebih dulu memasangkan dasi sebelum melewati pagar.

Selain mereka yang menggunakan seragam rapi, atribut lengkap dan sepatu juga kaus kaki yang sesuai, tidak ada yang diperkenankan melewati pagar sekolah dan masuk.

Pagi ini bukan hanya Arega, di depan pagar yang hari ini dijaga oleh Pak Harun, ada beberapa siswa lagi yang juga tak diizinkan masuk. Dua laki-laki, satu siswi.

Mengalihkan sebentar fokusnya dari dasi yang sudah melingkar di leher, Arega mengamati siswi yang menunduk di dekat beton pagar.

Itu Seina, yang kemarin meminta bantuan Arel untuk mengambilkan jambu air.

Perempuan itu tampak menatapi ujung sepatu, dasi abu-abu di tangannya hanya dikibas-kibaskan asal.  Ekspresi yang terpasang di wajah itu masih serupa dengan kemarin. Tenang, cenderung datar.

Arega jadi menyangsikan ucapan Arel tempo hari. Tidak mungkin wajah dengan mimik sinis itu memiliki bentuk senyum yang bagus.

"Pakai dasinya, Sei. Mau masuk apa tidak?" Pak Harun menoleh pada salah satu siswinya. Guru itu menggeleng saja kala Seina membalas dengan  anggukan.

"Pakek di dalam bisa pun. Harus kali dicegat macam razia SIM gini." Arega puas kala siswi tadi mengangkat wajah dan meliriknya sebentar. Baik, lanjutkan, ia mendapat atensi. Pemuda itu turun dari motor.

"Kalau kamu pergi ke sekolah, artinya kamu sudah harus siap menerima pembelajaran dan semua kegiatan di dalam sekolah. Tidak mengenakan dasi, artinya tidak siap. Tidak menjalankan aturan yang ada."

Arega mengangkat bahu saja pada penjelasan gurunya. Ia kembali menoleh pada Seina yang sekarang tampak memandangi layar ponsel.

Dua siswa yang lain sudah diizinkan Pak Harun masuk, Arega yang penasaran bersuara pada Seina. "Kenapa dasinya nggak dipakek?"

Pemuda itu hampir selesai membuat simpul dasinya sendiri, ketika Seina akhirnya menjawab.

"Malas. Nanti kecekik."

Si pemuda tersenyum heran. "Nggak pande, ya?" tebaknya. Itu lebih masuk akal daripada yang barusan dicetuskan Seina.

"Itu juga." Seina menatap ke ujung gang sekolah. Menanti orang yang barusan mengiriminya pesan.

"Mau kuajari?" Itu spontan saja. Arega juga tahu itu tawaran aneh. Namun, saat gadis yang ia tanyai mengangguk pelan, pemuda itu langsung semringah.

Arega mendekat, memposisikan diri di depan Seina, jarak satu langkah. Tangan sudah bergerak untuk melakukan praktek, sampai suara klakson nyaring membuatnya terperanjat.

Klakson itu keras sekali. Menoleh ke belakang, ia menemukan Sander dengan motornya di sana.

"Sikit." Sander berucap datar usai membuka helm. Pemuda dengan potongan rambut sedikit menutupi dahi tersebut turun dari kendaraan. Menyenggol bahu Arega dan menggantikan laki-laki itu berdiri di depan Seina.

Love SomeoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang