Bab 9

14 2 0
                                    

Sudah diputuskan. Bukan Melati yang belakangan selalu bertukar pesan dengannya, target Arega kali ini adalah Seina.

Setelah peristiwa di kantin, pemuda itu selalu dihantui senyuman si gadis. Tak bisa lupa, bahkan terbawa hingga alam mimpi. Ditambah, setiap kali mengingatnya, ada perasaan gelisah yang melanda.

Sudah diputuskan. Arega akan mulai mendekati Seina mulai sekarang. Dan tahap pertama dari rencana itu adalah memberi tahu Arel.

"Si an*ing! Katanya nggak suka. Lebih cantik Melati. Bacot kau, Re!" Napas Arel memburu usai mengatakan itu. Si pemuda tak peduli pada tatapan aneh dari penghuni kelas. Dirinya patah hati. Mendadak wajah cerah yang biasa ditampilkan dihinggapi awan kelabu.

"Kau kusuruh maju, nggak mau. Kek mana? Masih bisa berubah pikiran kau sekarang." Pemuda itu menaik-turunkan alis.

Arega tak ingin pertemanannya dengan Arel terusik hanya karena soal ini. Maka ia menawarkan solusi. Jika Arel memang ingin maju sekarang, maka ia siap mundur dulu.

Arel berdecak. Ia gamang. "Aku ini anak cowok satu-satunya, Re. Adekku ada dua, cewek semua. Kakakku sampai sekarang belum pernah pacaran. Bisa dibilang merusak nama keluarga aku."

Gantian, Arega yang berdecak. Arel sangat berlebihan. "Ini cuma perkara pacaran. Bukan kawin! Heboh kali kau."

Si rambut ikal menggeleng dengan tatapan kasihan yang dibuat-buat. "Ini namanya prinsip. Nggak ada larangan tertulis, tapi aku nengok Kakakku. Dia dari SMA sampai sekarang kuliah, sekalipun nggak pernah pacaran. Tahunya cuma belajar. Panutan. Kalau aku menyimpang, keabsahan DNA-ku bisa disangsikan."

Pemuda bergelang hitam meringis. "Si anjiang. Soal pacaran aja sampai-sampai ke DNA. Jadi kek mana? Aku yang mundur atau kau yang mundur?"

Ekspresi sedih muncul di wajah Arel. Memang, dirinya dan Seina tak menjalin hubungan apa-apa. Dekat pun, baru beberapa hari belakangan. Namun, tetap saja rasanya ada yang patah.

"Nggak ada cewek lain, Re? Kau kan gampang cari cewek."

"Nggak! Cuma dia. Dia pintar." Tak menampik, keputusan akhir ini Arega ambil setelah tahu bahwa ternyata Seina sepintar itu. Bukan hanya jago kandang, di luar kandang pun Seina bisa diadu. Bibit yang baik untuk masa depan.

"Aku juga, Re. Cuma dia yang menarik di mataku." Arel menjatuhkan dahi di bahu Arega. "Cari yang lain aja, Re."

"Kau mau nembak dia rupanya?" Arega menggoyang-goyangkan bahu kasar agar Arel menjauh.

Arel menggeleng. "Enggak sekarang. Pas udah selesai kuliah, mungkin."

"Si ibab!" Arega tertawa pelan. "Ya, udah. Aku jagain sampai kau selesai kuliah."

"Memang nggak ada otak kau, Re. Udah tahu kawanmu ini suka dia. Tega kali kau mau curi."

"Dia bukan punyamu."

"Jadi si Melati itu mau kau apakan?"

"Nggak usah ngurusin yang lain. Perjelas dulu ini. Aku maju, ya? Ikhlas kau, ya?"

Si ikal memajukan bibir. "Cari yang lain aja, Re. Kau bilang dia mukanya datar." Bukan apa-apa, Arel takut Seina merasa nyaman dengan Arega, lalu kelak ia tak punya kesempatan lagi.

"Nggak. Senyumnya bagus. Suaranya bagus. Dengar dia ceramah panjang-panjang siap aku."

"Memang nggak ada otak kau, Re! Nggak usah kau bekawan sama aku lagi. Jijik aku lihat kau. Benci aku!"

Bukannya sedih, Arega malah terbahak. Raut sedih sungguh tak cocok dengan temannya, menggelikan. Namun, ada yang penting di sini.  Ia jadi tahu jika ternyata perasaan Arel sebanyak itu pada Seina. Hebat sekali sahabatnya itu bisa menahan diri demi bentuk bakti pada ayah dan ibu.

"Cius? Nggak mau lagi bekawan sama aku?"

Mengangkat lengan, telapak tangan Arel memukul punggung Arega sepuasnya. "Jangan kau apa-apakan tapi. Jangan kau buat nangis, ya, Re. Cewek baik-baik itu."

Si jangkung bertepuk tangan. Ia berdiri, meminta teman-temannya di kelas untuk ikut bertepuk tangan, memberi penghargaan pada prinsip Arel yang tak tergoyahkan.

"Udah gila!" celetuk Febi dari kursi depan. Meski begitu, ia tetap bertepuk tangan.

"Udah, jangan sedih. Sekarang, kau nggak perlu sangsi sama DNA-mu."

Arel masih menatap tajam dengan matanya yang terlihat sendu. "Anj*ng kau!"

***

Izin sudah dikantungi, pada jam istirahat, Arega segera melancarkan serangan pertama. Melancong ke kelas Seina. Sendirian, karena Arel menolak ikut. Temannya itu ikut Riki nongkrong di kantin samping lapangan.

Arega langsung menjadi pusat perhatian siswa yang ada di ruangan itu. Berjalan dengan penuh percaya diri, pemuda itu menghampiri Seina yang tampak sedang menulis sesuatu di buku.

"Hai."

Bukan Seina yang menoleh, tetapi Sander, Gavi dan Sesil. Tiga orang itu serentak menautkan alis atas eksistensinya di sana.

"Lagi sibuk kalian?" Basa-basi. Arega gemas sendiri saat gadis yang menjadi target masih tak memindahkan tatapan dari buku.

"Ngerjain tugas kelompok. Mau kumpul kek kemarin lagi?" Sesil menebak.

Arega menggeleng. "Ada perlu sama Seina." Oh, akhirnya ia ditatap. Senyum semanis mungkin pria itu tunjukkan.

"Apa, Re?" Seina bertanya cepat dan penuh atensi.

Arega sudah bersekongkol dengan Shira. Beruntung sekali karena teman SMP-nya itu setuju membantu.

"Shira mau tahu soal lomba kemarin itu. Katanya, dia penasaran sama apa-apa aja topik presentasinya." Arega mengeluarkan ponsel dari saku. "Aku disuruh catat."

"Shira ke mana?" Seina bertanya seraya membalik buku tulis. Mengoyak satu lembar dari sana, lalu mulai menuliskan judul topik di lomba kemarin.

"Di kelas. Lagi kerjain PR." Tidak dipersilakan duduk? Tidak membiarkan Arega yang mencatat? Seina ini benar-benar membuat Arega gemas dan semakin penasaran.

Seina mengangguk saja. Ia sibuk menulis, hingga tak memperhatikan jika dua teman di hadapannya tengah memandangi Arega dengan saksama.

Saat sudah selesai, gadis itu memberikan kertas tadi pada Arega. Namun, satu detik kemudian, ia menarik lagi benda itu dari jangkauan Arega.

"Aku aja yang antar." Ia berdiri, tak memindahkan tatap dari pemuda tadi.

"Aku aja, Sei. Kan dia minta tolong aku."

"Itu aneh, 'kan?" Seina mulai berjalan meninggalkan kelas, Arega mensejajari langkahnya. "Kenapa Shira harus minta bantuan kau? Dia bisa datang sendiri."

Berjalan di samping gadis itu di koridor lantai tiga, Arega hanya mampu mengusap tengkuk dan kepala belakang. Apa ia sudah tertangkap basah?

"Aneh, 'kan?" Seina masih menuntut penjelasan. Akan lebih masuk akal jika Shira sendiri yang datang. Atau, gadis itu bisa menanyainya lewat pesan. Mereka sudah bertukar nomor.

"Aneh gimana, Sei?" Arega masih berusaha mengelak.

"Aku sama Shira udah punya nomor masing-masing." Seina berhenti berjalan. "Jadi, kenapa? Kenapa Shira harus suruh kau?"

Arega memamerkan senyum. Berharap Seina membalas dengan senyum. Sayang, gadis itu hanya terus menatapi dengan sorot serius.

Apa Arega harus mengaku sekarang? Terus-terang jika dia memang sengaja datang, mengarang alasan untuk bisa punya interaksi berarti dengan Seina? Yang benar saja. Selama ini Arega tak pernah sefrontal itu saat melakukan pendekatan.

Sibuk dengan pemikirannya, Arega melihat Seina kembali menyodorkan kertas tadi. Hendak ia ambil, tetapi si gadis kembali menjauhkan.

Arega melirik tajam.

"Nggak akan maki lagi, 'kan? Bilang apa kemarin? An*ing, jantungan."

Oke. Arega kalah. Pemuda itu mengubah raut. Alih-alih marah karena diejek, ia malah tersenyum. Firasatnya baik. Agaknya, pacaran kali ini akan jauh lebih menarik dari sebelum-sebelumnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 02, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Love SomeoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang