Seorang laki-laki turun dari sebuah mobil hitam, menggemgam sebuket bunga mawar merah. Ia terduduk di sebuah nisan yang amat disayanginya. Menyimpan bunga itu, lalu berdoa dengan napas memburu sambil menahan tangis.
"Semoga selalu dalam bahagia kalian, Imaku dan Imahku sayang di sana."
Laki-laki itu mencium batu nisan itu, lalu beralih batu nisan satunya lagi.
"Itu nama panggilan dari saya, untuk almarhumah Fatimah, Ima. Manis kan? Seperti ibunya?"
"Nama kalian hampir mirip, kamu sadar tidak?"
Hadi merasakan hatinya sesak. Nyatanya kehilangan adalah hal yang membekas ketika ditinggalkan. Tapi ia berusaha memgikhlaskan akan ketetapannya.
"Maaf ya, setelah dua tahun saya baru kembali lagi."
"Hadi.." panggil seorang laki-laki yang merupakan kepercayaan keluarga Hz atau Hamzah, Pandi.
Hadi tidak menggubris.
"Menginjak tahun ke empat, Ima. Saya di sini tanpa kamu." Hadi menahan bibirnya. "Ah, tanpa kamu bukan berarti kamu tidak ada dalam hati saya." Hadi tersenyum mendengar ucapannya sendiri. Ia sadar betul, ini adalah sikap yang Ziya inginkan dahulu. Mengutarakan perasaan, bukan hanya menjelma menjadi manusia kaku.
"Jika kamu disini, kamu pasti akan bangga tidak ya, sama Saya?"
"Bukannya sombong, saya banyak berubah. Yang pertama, saya merasa saya tidak selalu dulu, saya jadi banyak bicara kan? Lihat sekarang?" Hadi menahan tangisnya.
"Ah, saya tidak ingin bersedih. Saya ingin memberitahu kabar bahagia, jadi maafkan saya yang menagis ini. Bukan kah kamu yang bilang? Bahwa ketika terlalu bahagia, bisa saja menangis juga menjadi gambarannya."
"Beberapa waktu lalu, Ima, saat saya melanjutkan study S2 saya di Al-Azhar, sebuah universitas yang menjadi mimpi hidup saya yang sempat tertunda, ternyata menjadi suatu impian luar biasa yang saya pijak. Apalagi saya mendapat dua gelar yang jika kamu masih disini, kamu pasti bangga mempunyai suami seperti saya. Saya menjadi segala bisa." Hadi menunduk. "Saya yakin, sekarang juga kamu pasti bersyukur dan bangga kan? Saya baru merasa pantas sekarang, Ima. Kenapa baru sekarang?"
Iya, dulu ia merasa tidak pantas bersama seorang dokter cantik yang pintar dan baik hati karena profesinya yang seorang tukang kaligrafi sederhana. Walau dia tidak menuntut, dan merasa cukup padanya. Rasa ketidakpantasan membuatnya seperti seorang pengecut.
"Kamu harus tahu juga, saya di Turki mengikuti sebuah pameran internasional, Ima."
Hadi bergetar mengucapkannya. "Selepas itu saya mengikuti pameran lagi ke beberapa negara, setelah Mesir, Dubai, dan lainnya."
".. saya mewujudkan mimpi saya. Tapi, jangan khawatir, saya juga mewujudkan mimpi kamu. Tenang saja. Sudah dua tahun saya membangun sebuah sekolah dan rumah sakit gratis bagi mereka yang berhak mendapatkannya."
"Maaf, baru mengatakannya sekarang. Saya hanya ingin apa yang saya wujudkan benar-benar sukses, dan alhamdulillah berkat jalan Allah. Semuanya berjalan lancar."
"Kamu adalah Pilihan Allah, Ima. Allah tahu, Allah lebih menyayangi kamu. Sudah cukup kamu merasakan luka dan berusaha menyembuhkan luka kamu karena melihat derita orang lain. Saya bukannya senang, atau tidak senang. Kenyataannya Allah adalah Dzat yang Maha Baik."
"Saya tidak akan berhenti menebar kebaikan," Hadi menjeda kalimatnya. "Sampai saya dapat bersama kamu dalam alam yang kekal. Sabar dan tunggu saya ya, sayang. Kita pasti akan bersama bersama anak kita atas izin Allah."
*
Sebuah jendela batu saja terbuka. Hembusan angin menerpa wajah dengan kerudung berwarna nudenya. Ia tersenyum ketika memandang hamparan pantai di depannya. Mengirup udara dalam, sambil tersenyum.
"Hal yang paling bahagia di dunia ini adalah bersyukur. Bersyukur atas nikmat yang Allah beri setiap saat. Dapat melihat dunia dengan indahnya, menghirup segarnya udara" Ia menjeda kalimatnya. "dan, merasakan tenangnya hembusan angin."
"Kamu beneran akan pergi ke Jakarta? Serius, Kak?" Perempuan itu berbalik menatap perempuan terdekat yang terduduk di sisi ranjang menatap koper yang sudah ia siapkan.
"Bagaimana kalau Arbi tahu, seseorang yang paling dia sayangi bernama Kak Zaura menghilang dan pergi dari sisinya?"
Zaura mengerucut.
"Jangan dibilangin dong. Lagian Arbi sama Tsya lagi liburan. Cukup seminggu aku mau memperjuangkan hak." senyum Zahira.
"Awas aja sebelum seminggu belum pulang, gimana aku mau bilang ke Tsya."
Zaura memegang bahu Shaya. "Kamu tenang aja. Aku akan kembali, kok, secepatnya. Aku nggak lepas tanggung jawab. Tapi, sebagai gantinya-"
Shaya pura-pura mengangguk. "Ya, ya. Aku mengerti, Kak Za Biar aku yang menggantikanmu. Jangan panggil Aku Shaya kalau aku tidak bisa diandalkan dalam hal apapun."
"Kamu selayaknya adikku, Shay. Tapi, kamu merangkap bagai menjadi kembaranku."
"Heh, secara tidak langsung Kak Za menyebutku anak kecil. Aku tidak terima. Enak aja."
Zaura menguyel-uyel pipi Shaya. "Kamu masih mahasiswa, sedangkan aku? Tapi, baiklah. Kita seumuran. Selesaikan?"
Shanya mengangguk puas. "Giliran ini aja, mau setara sama mahasiswa. Inget ya Kak Za, sebentar lagi aku wisuda. Saat itu Kak Za harus nemenin aku."
"Iya, janji."
Keduanya tertawa. Dan, Zaura terduduk menatap sebuah map kuning.
"Aku harus melakukannya dengan sangat terpaksa, Shay."
"Jangan gitu, dong."
"Ini ikhlas loh, atau mau batal?"
"Ya, ya, aku tahu. Tapi tolong, jaga diri ya Kak Za, kakak nggak punya siapa-siapa loh di sana. Apalagi dari sini Kakak naik pesawat sendirian, apa mau aku temani saja, hm?"
Zaura menggeleng. "Enggak perlu, aku bakal usaha sendiri. Kamu lebih baik disini. Gantikan aku dulu, aku harus meminta bantuan ke seorang Ceo HZ dan seniman yang terkenal dengan logo ZH itu. Kamu tahu, profosal ini penting buat kelangsungan LSM dan banyak anak di sini, Shay."
"Aku tahu, tapi hati-hati ya. Aku sangat cemas, Kak Za."
"Tenang saja, doakan, ya? Tidak ada hasil setelah sebulan ini kita mengajukan beberapa kali tanpa ada jawaban."
"Dan karena kabarnya dia kembali ke tanah air, kamu memutuskan meminta bantuannya langsung?"
Zaura tersenyum. "Iya. Kenapa enggak? Bukannya dia terkenal dermawan, dengan sebuah slogan. 'Hak adalah perjuangan' jika memang benar akan aku buktikan."
"Ya ampun, kakak aku ini pinter banget."
"Udah ah, aku mau berangkat."
Shaya mengangguk. "Biar aku anter sampai bandara.
"Makasih.."
"Cama-cama,"
"Lebay deh, yuk ah."
"Kurang jiwa mudanya,"
Zaura memicing. "Maksudnya nyindir udah nggak muda lagi?"
"E-enggak. Ngerasa aja itu."
Zaura melotot. "Mau kemana kamu Shayaa.. sini biar aku beri pelajaran kamu."
Zaura mengejar Shaya yang lebih dulu buru-buru keluar dari kamar itu.
*
Assalamualaikum teman-teman semua🤗
Selamat membaca KATA (After KAPA) ya..
Di part 2 kita main tebak-tebakan yuk:).. siap?
Kamis, ²¹⁰⁸¹²
Salam kenal, AR Gumilang:)Semoga bisa konsisten menulis ya:)
KAMU SEDANG MEMBACA
KATA | Kamu adalah Takdir Allah (after KAPA)
EspiritualBisa dibaca tanpa membaca KAPA dulu:) Ini mungkin After KAPA, tapi nggak sepenuhnya tentang sang pemeran utama KAPA.. disini bakal lebih ngajarin bahwa mereka jatuh cinta adalah sebuah takdir.. Kamu adalah Takdir Allah | KATA ♡ "Apa kamu masih sanga...