"Wajah kayak orang lagi kelilit hutang aja. Senyum dikit lah, Mbak Ryn."Datang-datang, Sehan mengganggu ketenangan sang puan yang malam ini duduk di teras kamar tamu untuk memandang langit. "Manusia model kamu ini ya, Sehan, dijadiin tumbal proyek, pasti proyeknya langsung bangkrut."
"Dih, bisa-bisanya cewek model begini lulus quality control buat lahir ke bumi." Si berondong menyepak kaki Ryn agar bergeser sedikit, sebab ia mau ikutan duduk.
"Nah, yang kayak kamu gini nih emang cocok dijadiin bahan bakar neraka. Perangainya bikin hati panas kebangetan."
"Itu mah Mbak Ryn aja yang emang temenan sama setan, makanya kepanasan."
Ryn melepas sendal, siap menyambit bahu lebar Sehan. "Kamu setannya!"
Untung saja pria itu punya kemampuan mengelak yang tak bisa diragukan, belum sempat sendal melayang, telah lebih dulu melompat ke belakang.
"Sumpah ya, kamu ini cewek lho Mbak Ryn. Coba bertingkah anggun, kalem, sopan. Kalau kayak gini mah masuk neraka jalur undangan."
Meraup udara hingga memenuhi paru-paru, Ryn menancapkan pandang ke langit malam seraya berdoa, "Ya Tuhan…hikmah apa yang harus kupetik dari pertemuan dengan lelaki menyebalkan ini? Bakal dibawa kemana arus hidupku kedepannya? Tolonglah kasih spoiler sedikit."
"Sudah, Mbak. Aku lagi ngga mau adu bacot," katanya, sambil menepuk-nepuk pelan pundak Ryn. "Ngapain nongkrong di luar kamar jam sembilan gini?" alihnya segera.
"Suka-suka aku dong. Kamu ngapain datang ke sini?"
"Lah? Suka-sukaku juga lah. Ini rumahku. Bebas mau kemana pun."
Bibirnya mencebik kesal, lalu melirik paviliun Juna yang nampak sepi. Sejak makan siang tadi, lelaki itu tidak terlihat. Bahkan makan malam yang dilakuin dua jam lalu, Juna tak ikutan. Dadang membawa informasi di ruang makan bahwa Juna sedang ada kerjaan dan minta diantarkan makanan saja ke paviliun. Sungguh membuat Ryn makin jengkel karena pria itu nampak sekali menghindarinya.
"Kalau aku bilang, aku naksir sama abangmu, menurutmu gimana, Han?"
"Dinilai dari ucapanmu, kayaknya kamu kesurupan." Sekonyong-konyong Sehan memegang dahi sang puan untuk mencari tahu apakah sedang panas atau normal.
"Aish! Jauhin tangan kotormu ini!"
"Ya… nampaknya mulutmu ngga pernah mengucap tasbih. Wajar yang keluar kata-kata buruk semua."
"Sehan!"
"Oke, oke, baiklah. Maaf." Kini berondong itu berdiri, mondar-mandir di depan Ryn sambil melirik paviliun masnya. "Beneran naksir abangku?"
Ryn mengangguk.
"Kok bisa?"
"Kamu ingat nggak, aku sempat cerita mengenai pertemuan dengan seseorang yang mirip sama abang kamu?"
"Terus?"
"Ya. Terus aku kan ada cerita ke kamu pas aku salah masuk restoran karena kamu salah kasih alamat buat ketemuan. Di sana aku ketemu Abang kamu lagi, tapi dia bilang engga kenal aku. Kamu bilang, abangmu orangnya pelupa kalau cuma ketemu sekali atau dua kali. Tapi, Han, tiga tahun lalu, aku sama dia tinggal seatap selama lima hari. Tenang aja, engga ada hal buruk yang terjadi. Intinya aku butuh pertolongan waktu itu, dan dia membantu."
"Terus?"
"Abangmu udah ngaku kalau dia sebenarnya ingat sama aku. Semuanya dia ingat. Hanya pura-pura ngga kenal karena keadaan yang cukup rumit."
"Terus?"
"Sekarang kesimpulannya, dia ngga bisa dekat-dekat aku lagi, karena aku akan nikah sama kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
A Love for Junaedi
ChickLitSederhananya, Ryn hendak berlibur ke Makassar dan berakhir kena tipu orang. Semua barangnya diambil, lantas dirinya dalam keadaan pingsan dibuang ke Pulau Badi, Sulawesi Selatan. Di sana ia bertemu Junaedi. Pria yang mengaku-ngaku sebagai nelayan it...