Sedang tidak ada yang bertanya,
"Sedang apa?"Bukannya ingin, cuma mau memberitahu saja
Kalau memang sedang tidak ada yang bertanya,
"Sedang apa? Aku menganggur..."Sedang tidak menjawab pada siapapun juga, kalau aku sama menganggurnya
Kita pernah bicara tentang apa saja, ya?
Tentang apa saja.Sedang sadar :
Lama tidak mengisi lembar-lembar yang dulu kau baca diam-diam iniKabarmu baik?
Aku biasa saja.
Sedang apa?
Baik-baik, ya.Aku tidak tahu kenapa harus menulis ini
Aku sempat mengirim surel untukmu
Yang jelas-jelas tidak jelas kapan kau balas
Aku sempat menangis
Aku sempat mengenang sambil memaki
Aku sempat merindukan ayah
Dan hari-hari masa kecil
Dan hati-hati yang kerdil
Dan kita yang selalu pelan untuk berhasil
Dan kamuDan kamu.
Hai, hari ini aku sudah bisa merindukanmu dengan lebih baik.
__________________________________________
Mulanya saya adalah penggemarnya
Karena di satu malam remang yang hanya tampak rahang orang-orang,
Saya menangkapnya seperti menemukan tokoh di film kesukaanKemudian saya adalah teman dari jauh, yang kami berkenalan cukup banyak lalu dengan sendirinya berteman
Lalu saya tertegun mengingat kami adalah dua yang sedang tumbuh
Dan menjadi dua yang berbeda dari kemarin
Tumbuh
Sendiri-sendiriSelanjutnya, di rimbun jalur menuju dewasa, saya saksikan dari sudut ini, dia dan seseorang yang mulai ia beri hati
Hati gang saya rasa, pernah jadi milik saya
Saya lihat dia senang saja
Baik sekali ia tampakkan senyumnya
Walaupun tanpa alasan, saya kesal, bersamaan dengan itu saya menyimpan lega
"Dia dan pilihannya. Aku dan jalanku."Sampai saya tiba di satu pemberhentian, halte tempat orang-orang pandai lupa dan merelakan. Saya naik bis itu. Saya masuk kota baru. Tidak ada dia di sana, sama dengan kota lalu yang hanya dia tanpa saya. Saya berdoa diperjalanan sunyi, "Tuhan, semoga Kau berkenan biar kami bertemu lagi. Hanya bertemu pun tidak apa, Tuhan. Hanya bertemu. Hamba mau dengar kabarnya, mungkin juga tangisnya, boleh juga kelakarnya. Hamba taruh doa ini untuk Kau saja Tuhan, hamba tinggal doa ini, hamba pergi dulu ke kota baru."
Bersama Aamiin, dan segenggam iman.Tapi di musim hujan akhir tahun, di kediaman hangat yang saya rehat, ada ketukan pintu di tengah gemuruh hujan. Saya kira siapa, ternyata Si Bocah Nakal di dalam doa.
"SELAMAT ULANG TAHUN," katanya. Berbadan basah di guyur puisi dari langit. Sedang apa dia? Di kota baru yang tenang tanpa urusan hati ini, mau apa? Sekadar bertamu atau tinggal?
Tapi dia menginap.
Hatinya ikut, mengendap-endap.Setelah itu, kami yang tanpa rencana, memperbaiki tahun-tahun silam yang rumpang. Saya kisah kan gelap saya, dan dia dengan gelapnya. Hanya ada lilin di ruang ini. Jadi kami saling berbagi terang. Dan jari kami berhitung... iya. Lima tahun adalah waktu yang lama. Lima tahun ternyata, doa-doa itu menjelma nyata. Tuhan baik sekali, ya.
Sementara saya tidak tahu pasti, kemana rasa yang dulu, dia terus saja memberi yakin. Dia mau saja mengalir sambil menunggu. Dia masih saja teman baik yang dulu. Jadi kami di rumah ini, di kota tempat orang-orang pandai lupa dan merelakan. Jadi kami di ruang ini, memaafkan pisah-pisah yang sempat jadi. Tapi kota ini tidak pernah benar-benar ditempati. Konon orang-orang selalu cari kota baru, kehidupan baru, cerita baru. Karena kota ini hanya fase, katanya. Hanya fase.
Ada jalan yang lebih jauh.
Ada rumah yang lebih ramah.
Lebih terang dan punya banyak musim.
Berupa seseorang yang mau menerima, katanya.
Berupa seseorang yang bernama ia.Tapi itu sangat jauh. Terlalu jauh untuk kami yang miskin bekal. Jadi dia pergi ke kota lain, berbelanja banyak terang dan tentu saja bahan-bahan hidup. "Nanti aku pulang," ia berujar tanpa ragu. "Nanti kita cerita banyak," masih seperti itu. "Nanti jalannya sama-sama."
"Aku pamit dulu, ya," dia melambai
Masih manis seperti Juni lima tahun lalu
Hanya saja, kalimatnya pahit
Membentak walau pelan, mengiris begitu sakit
Nanti yang ia maksud, adalah tahun dua. Atau tiga. Atau entah berapa, dia hanya berangkat membawa separuh saya di telungkup tangannya.Hari ini, saya adalah tokoh yang duduk membawa keranjang doa-doa baru. Ada banyak rajutan jadi, serupa ocehan-ocehan kami. Saya peluk erat, sesekali kalau sedang penat. Saya jatuhi air mata, kadang, kalau sedang kesulitan tanpa bisa memintanya pulang.
Di samping itu, saya juga dalam perjalanan baru. Sama, mencari lebih banyak terang untuk bekal yang orang bilang itu.
Hari ini, saya adalah tokoh yang masih sama. Setelah hari-hari pamit dan tangis itu, saya jadi tau cara merindu dengan lebih baik itu seperti apa.
Hari ini, masih seperti biasanya, saya adalah penggemarnya. Walau dengan campur tangan rasa yang lain.Di sini memang tempat saya. Mendoakannya.
Hai, hari ini aku menulis tentangmu dengan lebih baik.
___________________________________________
"Hai, sedang apa? Nanti malam ngobrol, ya."
"Iya, nanti, ya. Cerita yang banyak."
"Banyak?"
"Iya, harus."
"Ya, deh."
___________________________________________"Nanti kalau pergi, kita nggak ngobrol lagi."
"Sementara, sabar, ya?"
"Kabarmu, aku nggak bisa tahu."
"Semoga Tuhan berkehendak, di sana aku baik-baik saja."Sampai bertemu lagi!
__________________________________________Fiksi di ujung musim,
tepat hari ulang tahun JaeminJum'at, 13 Agustus 2021
- d i v a -
KAMU SEDANG MEMBACA
Ini Bukan Apa Apa
Randomkarena saya tidaklah terlalu mahir dalam perkara apapun, jadi saya bisa-bisakan apa yang cukup saya bisa. walaupun hanya bisa yang biasa saja.