BAB 6 ~ 💓 DORONGAN HATI 💓

16 9 9
                                    

Selamat malam....

Kali ini bukan Babah Tan yang nongol... Kira2 siapa ya??? 🤔🤔🤔

Yuk langsung baca aja ....

Jangan lupa tekan bintang dan kasih komen ya.... 😁😁😁

Happy reading....


💓💓💓



Suara alat musik gesek yang mengalun di suatu senja menjeritkan kesedihan. Seorang perempuan muda tengah memainkan sebuah biola di tepi teras belakang sebuah rumah besar bergaya kolonial Belanda. Tubuhnya berdiri di dekat salah satu tiang penyangga rumah, di atas undak-undakan pendek yang mengarah ke pekarangan belakang dan bangunan tambahan di sisi utara pekarangan. Kedua matanya terpejam dan ada kerutan di antara kedua alisnya yang hitam melengkung.

Tangan kanannya terus bergerak menggesekkan busur biola dengan keempat senar yang terpentang hampir sepanjang biola. Sementara jari-jemari tangan kirinya yang lentik bergerak lincah menekan senar-senar di sepanjang leher biola. Tubuhnya sesekali bergerak perlahan mengikuti irama.

Setelah menyelesaikan satu buah lagu, perempuan muda itu lalu membuka matanya. Tatapan mata sipitnya yang tajam menyiratkan kesedihan. Kepalanya sedikit terangkat, menatap ke langit. Kedua tangan yang masing-masing masih memegang busur dan biola menggantung lemas di sisi tubuhnya yang langsing.

Langit sore tampak cerah dengan awan-awan putih berarak. Sang surya yang sedang dalam perjalanan menuju peraduan berada di balik awan dan sesekali mengintip di sela-selanya. Di saat-saat yang lain, tubuhnya yang bundar menampakkan diri dengan warna oranye terang. Semburat jingga menghiasi langit sore. Tampak burung-burung terbang bergerombol untuk kembali ke sarang. Suara kicau dan kepak sayapnya terdengar indah di telinga.

Namun, keindahan langit sore yang menakjubkan disertai dengan kicau burung itu tak mampu menghapus ekspresi muram yang menghiasi wajah cantik perempuan itu. Suara desah napas yang berat lolos dari bibir penuh berwarna pink alami itu. Tak mau berlama-lama memandang ke langit, perempuan muda itu segera memalingkan wajah ovalnya ke pekarangan rumah. Ia lalu duduk menyamping di pagar teras yang terbuat dari adukan pasir dan semen. Kepala dan punggung kurusnya disandarkan ke tiang penyangga. Biola berwarna cokelat kayu mengkilat beserta busurnya diletakkan di atas pangkuannya.

Coba kalo segala kegundahan hati bisa sirna hanya dengan mendesah, keluhnya dalam hati.

Aku dengar dia sudah balik ke rumah. Hah! Tapi buat apa coba? Nggak ada gunanya juga. Perempuan itu lalu menoleh ke arah tembok keliling pekarangan yang dicat warna kuning gading. Setelah beberapa detik, ia memalingkan lagi wajahnya.

Hah, tega banget sih kamu berbuat kaya gitu! Kamu bahkan nggak sudi mengatakan sepatah kata pun padaku! geram perempuan muda itu setelah sesaat melamun.

Ah, sudah, sudah, sudah! Hentikan! jerit suara hatinya. Ya, Tuhan. Lihat dirimu! Sungguh menyedihkan! cercanya kemudian kepada diri sendiri. Hampir empat tahun berlalu dan kamu masih memikirkannya? Ck, ck, ck.

"Hah! Ini sungguh keterlaluan! Sadar, sadar!" ucapnya keras-keras sembari mengetukkan pelan pangkal busur biola ke pelipisnya beberapa kali.

Setelah mengembuskan napas panjang sekali, perempuan muda itu lalu duduk lebih tegak. Ia memutar posisi duduknya, menghadap ke pekarangan agar lebih nyaman. Kepalanya yang bermahkotakan helaian-helaian rambut panjang berwarna hitam legam digoyang-goyangkan dengan pelan. Berharap hal itu bisa merontokkan pikiran menyedihkan dari otaknya.

(Bukan) Ke Lain Hati ~ (TAMAT) ~ TERBIT E-BOOKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang