Berakhir : Tak Lagi jadi Rumah - Kehilangan

8 3 0
                                    


Tanpa ceritamu, aku sudah lebih dulu paham.
Kenyataan bahwa tidak ada yang dapat berubah, terutama mengenai kita.

Jangan meminta pulang.
Yang sudah ditinggalkan tanpa alasan, tidak pantas meminta untuk kembali bersama dengan penjelasan.

---

"Anya, kamu mau mendengar ceritaku?" Nada suaranya tercekat. Aku menutup wajahku dengan sebelah tanganku lalu tanpa sadar menggeleng pelan.

"Apa ada yang berubah, Tama? Apa ada yang berubah dari enam bulan yang aku lalui tanpa kamu? Apa ada yang berubah, Tam?" tuntutku.

Kini aku mendengar napasnya tersendat. Tama benar-benar membuatku frustasi. Untuk apa dia merasa sakit? Oh, Tama.

"Setidaknya kamu tahu dan paham dengan hilang tanpa kabarnya aku selama ini." Aku terdiam.

Sialan, Tama. Kau benar-benar membuatku berada di ambang kegilaan.

"Kamu sudah terlalu lama pergi, Tama. Tanpa kabar." Aku menghela napasku tenang. Perlahan-lahan mencoba meredakan isakanku.

"Anya.." Tama melirih.

"Aku kira, kamu menemukan bahagiamu yang baru. Tapi kurasa memang begitu," cicitku pelan.

Kali ini, priaku itu terdengar terisak pelan. Aku kembali merasakan sesak di dadaku.

"Anya–"

Aku terisak pelan. Kali ini tidak kututupi lagi. "Dan kita akan berakhir seperti ini."

"Anya.." Kini lirihannnya terdengar semakin pelan. Kami berdua sama-sama terisak pelan dengan waktu yang cukup lama.

Sampai akhirnya, Tama menggumam. "Nya.." panggilnya. Aku terdiam. Belum sanggup untuk menjawab panggilan itu di mana keadaanku masih terus menangis.

"Anya.." Kembali dia memanggilku.

"Ya, Tama," jawabku dengan nada serak begitu aku sudah merasa agak tenang.

"Aku ingin pulang." Nada suaranya tertahan.

Aku kembali diam sejenak. Mencoba mencerna maksud perkataannya. "Pulanglah. Pasti Mama sangat merindukanmu. Tidak ada yang melarangmu," kataku akhirnya. Mencoba mengalihkan maksud perkataannya yang ku tahu ––––

"Aku ingin kembali ke rumah. Aku ingin kembali ke kamu. Kamu rumahku. Kamu tempatku pulang, Anya."

––– jawabannya pasti ini.

Tama semakin tergugu di seberang sana. Aku membatu.

Tapi aku marah. Setelah semuanya terjadi, dia ingin kembali?

"Setelah semuanya?" ucapku tak percaya. Dia tidak menjawab. Hanya isakan kecilnya yang kudengar.

"Setelah kamu tinggalkan rumahmu ini cukup lama dan kamu merasa ingin pulang sekarang?"

"Anya.." Dia terus melirih memanggil namaku. Aku benar-benar tidak megerti bagaimana jalan pikirnya.

"Kamu sudah terlalu lama berkelana, Tama. Mengunjungi banyak hati sampai sempat menetap pada destinasi hati yang lebih indah. Dan kamu ingin kembali!?"

"Sayang.."

Seluruh darahku mengalir deras mendengar panggilan itu. "Tama, kamu benar-benar menghancurkanku."

"Bukan begitu, Anya.." Dia semakin terisak menyusul aku juga yang kembali menangis.

"Kamu lupa aku, Tama. Aku yang katanya rumahmu."

"Anya, aku mohon.."

Aku menggeleng pelan. "Kamu malah kembali, memohon untuk pulang. Kemana tempat singgahmu yang baru? Bukankah dia lebih indah?"

"Maaf, Anya.. Aku bodoh." Bukannya menenangkanku, dia malah menyesali perbuatannya. Berarti yang selama ini kudengar itu benar 'kan?

Aku menghirup napasku dalam-dalam sebelum kembali ku buang pelan.

"Ini sudah terlalu lama. Terlalu usang. Terlalu berdebu dan menyakitkan jika aku menjadi tempatmu pulang."

"Tidak ada yang usang dari kamu, Anya. Aku hanya ingin pulang. Hanya ingin kamu."

Aku tertawa miris mendengar itu. "Kau tidak bisa kembali. Cari yang layak untuk menjadi tempat menetapmu yang baru. Aku rasa, aku tidak bisa lagi," putusku. Final. Aku sudah tidak mau lagi. Sudah cukup.

"Tidak. Aku tidak mau."

"Jangan memalukan dirimu dengan kembali padaku setelah semua yang sudah terjadi selama kamu meninggalkan aku, Tama."

"Aku tidak peduli, Anya. Aku tetap ingin kamu untukku pulang. Entah kamu bilang sekalipun kamu sudah usang dan berdebu. Tidak, bagiku kamu indah. Aku tidak mau lagi mencari tempat baru untuk menetap. Bahkan untuk singgah saja aku tidak mau. Kita bisa kembali, Anya. Membangun istana baru yang lebih nyaman untuk kita tinggali. Aku tidak mau membangun di tempat yang baru ataupun dengan seseorang yang baru. Mauku kamu, Anya."

Aku sejenak terenyuh. Hampir saja luluh dengan apa yang dia katakan. Tapi sungguh, itu terdengar cukup meyakinkan.

Aku menggeleng keras begitu sadar setelah mengingat apa yang telah kulewati selama ini. Tidak lagi. Aku kembali menetapkan keputusanku bahwa ini semua sudah cukup. Lima tahun yang sebentar lagi sudah di depan mata harus ku akhiri.

"Kamu terlalu egois, Tama. Setelah meninggalkanku begitu lama, kamu memintaku untuk menjemputmu kembali dan bertahan. Sudah cukup."

Deruan napas Tama terdengar memburu. "Enggak, Anya. Kita bisa memulai lagi dari awal," yakinnya.

Aku memejamkan mataku lalu menghembuskan napasku pelan. "Tama, sudah ––"

"Anya, aku bisa kasih kamu waktu untuk tenang. Untuk pergi sejenak dari aku dan memikirkan semuanya dengan tenang. Tiga hari, tepat usia hubungan kita yang kelima. Kamu bisa kembali memberitahuku bahwa kita bisa kembali seperti awal."

Aku diam sejenak mencerna semua yang dia katakan. Apa-apaan maksudnya? "Kamu mengingatkanku. Benar, kita sudah sampai sejauh itu. Tapi ––"

"Benar, Anya. Kita sudah sampai sejauh ini." Dia lagi-lagi kembali memotongku. Suaranya terdengar putus asa.

"Anya. Aku akan menghukum diriku sendiri dengan cara yang lain. Sebagai akibat dari apa yang kulakukan selama ini. Kamu juga bisa menghukumku. Memukulku, mencaci, atau bahkan membuatku sekarat. Aku tidak peduli. Semuanya aku terima, Anya. Asal tidak dengan kehilanganmu lagi. Aku tidak mau."

Aku memejamkan mataku hingga air sialan itu kembali mengairi pipiku. "Kamu yang menghilangkanku. Kamu yang membuat dirimu kehilangan aku, Tama."

Tut.

Aku melempar ponselku ke sembarang arah begitu aku memutuskan sambungan kami. Lalu kemudian aku berteriak keras, meluapkan semuanya yang membuatku sesak. Masih dengan air mata yang terus mengalir, aku memeluk gulingku erat dan berbaring.

Sudah selesai. Mari lupakan semuanya, Anya. Kau sudah melakukan yang terbaik hingga saat ini.

---

Sudah selesai.
Mengenai pulang, kembali, juga kamu, tidak ada harapan untuk sama seperti semula.
Saat kita masih baik-baik saja.

Aku tidak pernah menginginkan untuk lepas dan hilang.
Tapi kamu yang sudah lalai melepas genggamku.

Maka sudah sepatutnya kita benar-benar berpisah bukan?

Sampai jumpa lagi..
Dengan kisah di mana kita sama-sama memiliki rumah masing-masing untuk hati yang pernah saling menginginkan rumah yang sama.

---

Pulang yang Tak DisambutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang