Datang : Kebenaran dengan Maaf

9 3 1
                                    


Yang tidak baik-baik saja adalah keadaan hubungan kita sekarang bukan?

---

Aku selalu meghitung hari-hari yang ku lalui setelah hilangnya Tama dan sekarang bulan keenam sudah hampir berakhir. Melihat tanggal yang tertera pada kalender ponselku membuatku mengurai napas yang sangat panjang seperti melepaskan sesak yang terus mengerat pada dadaku.

Tiga hari lagi adalah hari jadi kami yang kelima tahun.

Dan Tama masih tetap tidak memberi kabar.

Bohong kalau aku tidak merindukannya. Bohong juga kalau aku tidak menunggunya datang. Aku tidak butuh wujudnya berdiri di hadapanku sekarang. Panggilan telepon saja untukku sudah cukup. Untuk menjelaskan semuanya.

Mengingat apa yang ku jalani hari ini, sejujurnya aku mendengar sedikit kabar mengenai Tama. Ya, orang-orang masih sering bergosip mengenainya sekalipun dia sudah hilang keberadaannya di kampus selama enam bulan.

Ku dengar, Tama sakit. Entah mungkin kelelahan bekerja, aku jadi khawatir. Namun kabar lainnya, ku dengar Tama dikhianati masalah kontrak pekerjaannya. Aku tidak tahu ini benar atau tidak. Namun terlepas dari itu, aku benar-benar khawatir mengenai keadaannya.

Tama, semoga kamu baik-baik saja.

Langit malam agak mendung ku rasa. Malam ini aku tidak memiliki sesuatu yang harus ku kerjakan sehingga Tama mampir kembali di pikiranku. Sepertinya, langit juga tahu bahwa aku sedang pilu.

Duduk di balkon kamar dengan menikmati angin malam yang berhembus serta Tama dalam pikiranku membuatku merasa berduka atas hubungan kami. Ah, Tama. Ku kira aku akan memutuskan untuk mengucapkan selamat tinggal. Tapi mendengarmu yang sakit, aku tidak tahu.

Diam sejenak menikmati semuanya, aku tersentak begitu mendengar dering ponselku yang berbeda. Aku menoleh sejenak ke arah ranjang di mana ponselku tergeletak, tidak bisa bergerak untuk mendekat karena keterkejutanku. Dering itu adalah dering khusus yang ku gunakan untuk Tama.

Ini.. agaknya mustahil. Sepertinya aku sedang bermimpi.

Aku benar-benar tidak menyangka akan terjadi malam ini.

Bahkan, sampai dering itu berhenti menggaung dari ponselku, aku belum juga bergerak dari tempatku. Tenggorokanku tercekat bahkan hingga membuatku kesulitan bernapas. Mencoba mencerna perlahan mengenai apa yang baru saja terjadi padaku.

Tama meneleponku.

Aku beranjak dari dudukku menuju ranjang di mana ponselku tergeletak lalu kembali mendudukkan diriku pada ranjang tanpa menyentuh ponselku yang mati. Masih menunggu dia kembali bordering untuk meyakinkan diriku bahwa panggilan yang tidak ku jawab tadi berasal dari Tama.

Dan.. ponselku menyala, dering itu kembali lagi. Nama Purnama Pratama muncul pada layar.

Aku menelan ludahku kasar. Jujur saja aku ingin menangis sekarang. Sumpah, aku benar-benar merindukannya!

Tanganku bergetar meraih ponselku. Menatap sejenak layar ponselku sebelum akhirnya kugeser ikon hijau ke arah atas.

Hening sejenak. Baik Tama ataupun aku tidak ada yang mengeluarkan suara.

"Hai, Anya." Suara paraunya membuatku kembali menelan ludahku kasar. Suara laki-laki yang kurindukan mengapa terdengar sangat menyedihkan.

"Apa kabar?" tanyanya begitu aku tadi tak membalas sapaannya.

Aku menghembuskan napasku pelan. "Aku cukup baik. Bagaimana denganmu?"

Dia tertawa renyah di seberang sana. "Aku rasa, aku sedikit sakit." Aku tertegun dan menjadi gelisah.

Kau kenapa? Sakit apa? Kau di mana? Aku akan kesana. Aku akan merawatmu. Tidak, aku tidak mau mengucapkan rentetan pertanyaan dan kalimat yang membuatku terlihat mengkhawatirkannya. Walau sebenarnya aku sudah khawatir dengannya semenjak dia hilang dari pandangku.

"Sudah lama ya, kita tidak bersua," ujarnya begitu aku kembali tidak menanggapinya. Bukannya aku tidak mau menanggapinya, hanya saja, aku tidak tahu apa yang ingin aku katakan. Karena aku sedang mati-matian menahan air mataku saat ini.

"Ya, sangat lama sekali," kataku dengan suara yang bergetar.

Mendengar perkataanku tadi, dari seberang sana ku dengar Tama menghela napasnya panjang. Kami kembali terdiam. Kali ini cukup lama.

"Kamu menghilang." Akhirnya kalimat itu keluar dari mulutku menuju telinganya. Aku bergetar. Bahkan ponselku sekarang kuremas kuat. Tapi agaknya aku lega begitu kalimat itu lepas dari bibirku. Aku harus menanyakannya sekarang. Hari ini, pertama kalinya dia menghubungiku setelah menghilang.

Setengah tahun aku tersiksa. Dengan rasa rindu yang menyakitkan ditambah banyak berita burung mengenainya kupendam sendirian. Malam ini, aku mau semuanya jelas. Semuanya, langsung dari mulut Tama.

"Maaf," bisiknya.

Aku memejamkan mataku dan melipat bibirku. Menahan isakan yang perlahan-lahan mulai muncul diiringi air mata. Bukan ini yang aku mau. Bukan permohonan maaf.

"Aku ingin penjelasan, Tama. Jika kamu meminta maaf, kamu hanya membenarkan semua yang selama ini aku dengar tentang kamu," kataku tersendat. Aku masih berusaha keras menahan isakanku.

"Maaf, Anya."

"Tama.. Aku mohon.." bisikku pilu. Bahkan kini aku mulai terisak pelan.

Kudengar dari seberang sana Tama sedang menarik napasnya dalam-dalam. Apa dia juga merasakan sakit? Sama sepertiku yang menunggunya selama ini? Tapi dengan alasan apa dia merasa sakit?

---

Saat kamu datang dengan maaf,  maka disitulah kenyataan semakin terlihat..
bahwa hubungan kita telah hancur karena pengkhianatan dan tidak bisa lagi diselamatkan.

---

Pulang yang Tak DisambutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang