Juni

2 0 0
                                    

Untung saja jaket itu sengaja ditinggal pemiliknya, sehingga bisa mendekap Sena yang sedang berlindung dari serangan hujan. Mentari sedang menjamu semesta dengan sangat teriknya siang tadi, lalu eksistensinya memudar seketika. Sang Barsha kini bertahta.

"Hm..." Sena menghela napas. Ia tidak suka berurusan dengan hujan dan para pengikutnya.

"Sekali-sekali, saya harus melawan kamu," ujarnya. Ia melangkahkan kaki, menerobos air langit.

"Sejak kapan kamu suka hujan, Sena?" seseorang menegurnya. Ia sudah lebih dulu basah oleh hujan. Ranu, lelaki itu menyamakan langkahnya bersama Sena.

"Saya nggak suka hujan."

"Kenapa tidak berteduh?" tanyanya.

"Tidak ada waktu." Sena menyesal ia tidak memilih berteduh saja. Kalau ia berteduh, Ranu tidak akan menghampirinya dan mengganggunya seperti sekarang.

"Jangan sampai sakit. Ini bukan waktu yang tepat untuk hujan turun." Ranu melangkah lebih cepat setelah berpesan pada Sena. Ia pergi.

"Saya sudah sakit, bahkan sebelum hujan." Ia hanya bergumam. Ranu sudah menjauh dan ini sedang di tengah hujan. Ranu tidak akan mendengarnya.

-

Mereka berjanji bertemu hari ini untuk mengatakan hal yang penting, katanya. Jam 7 malam. Cukup dingin untuk Sena yang sedang menghadapi rasa sakitnya.

Ranu datang. Ia terlihat terburu-buru.

"Ada apa?" tanyanya langsung setelah duduk di hadapan Sena. Ia masih Ranu yang sama yang Sena kenal, tidak suka berbasa-basi.

"Ayo selesai."

Hening. Sesuatu memaksa mereka untuk bungkam.

"Aku tahu kamu cuma mau bilang ini," Ranu yang pertama bersuara. Matanya berubah sendu. Sena-nya menginginkan perpisahan.

"Aku nggak mau, Ranu, tapi aku harus..." menangis. Suaranya bergetar. Sena tidak bisa menyembunyikannya.

"Kamu menyerah?" Ranu ragu, bertanya hati-hati. Kalau sampai jawaban Sena' iya', runtuh sudah dunianya.

"Iya." semesta mengabulkan. Ranu hancur, detik ini juga.

Mereka memang jarang bertemu. Mereka tidak terlalu sering saling memberi kabar.
Mereka bahkan hampir tidak pernah mengirim chat. Mereka seperti jauh, namun rasanya tidak pernah sesakit sekarang. Ranu mengerti. Ini keputusan Sena. Ia tidak bisa memaksa Sena tetap tinggal. Sena harus lebih bahagia daripada sekarang.

"Alright. Kalau itu mau kamu, it's okay, sweetheart," tangannya singgah di kepala Sena, "tapi kamu harus lebih bahagia, ya?"

"Uh-hm, iya, I'll try,"

"Pakai jaketnya. Di luar dingin, sebentar lagi hujan. Hati-hati pulangnya." Ranu menyerahkannya sebelum memberi Sena kecupan di puncak kepalanya, lalu pergi. Ia tidak menoleh lagi.

Hanya itu. Mereka berpisah baik-baik. Barsha yang menyaksikan semuanya, hari ini, hujan bulan Juni.

My Random LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang