Jherin lagi jalan ke gedung fakultas seni sambil nahan marah. Raut mukanya yang sama sekali ga ramah sukses narik mundur beberapa cewek yang mau usaha deketin top tier-nya anak teknik sipil tersebut.
Jherin lagi ada di mode dimana kalau ga sengaja nyenggol orang dia yang melotot.
Sesampainya di lantai tiga, cowok itu menerobos masuk ke dalam kelas begitu aja tanpa takut kalau masih ada dosen di sana. Untung aja dosen yang ngajar udah keluar dari sepuluh menit yang lalu, kalau ga bisa aja Jherin dapet detensi atau lebih parah kena aduan ke pihak prodi.
Anak-anak yang kebetulan hari itu sekelas sama Lisa cuma bisa melirik sebentar kemudian keluar kelas sambil bisik-bisik. Sementara orang yang jadi sumber kemarahan Jherin hari ini ada di pojok kelas, tengkurap di atas meja, ditemani satu cewek yang kelihatan lagi mijitin pelan belakang lehernya.
"kenapa ga sekalian aja lo ga makan seminggu," semprot Jherin langsung pas sampai disana.
"jangan dimaharin, anaknya lagi sakit," Jherin mendengus pelan. Selgi —asdos yang betugas nemenin dosen mengajar hari ini, sekaligus kakak kelas kesayangan Lisa tersebut, cuma bisa menghela. Sedikitnya dia merasa bersalah, karena secara ga langsung bikin adek kelasnya satu ini jadi drop.
Acara pagelaran tinggal sebentar lagi, dan dirinya bersama Lisa adalah orang yang ditunjuk dari tiap angkatan untuk masuk ke kepanitiaan. Tapi karena ada anak angkatan dia lagi bentrok sama salah satu dosen dan satu angkatan dikasih E, dia sebagai ketua angkatan mau ga mau harus turun tangan juga.
Jadilah untuk urusan pagelaran sepenuhnya jatuh ke tangan Lisa.
Sebenarnya persiapan udah hampir selesai, tapi emang dasar Lisa nya aja yang bandel, maka setelah tiga hari ngurusin props dan lain-lain plus latihan, cewek itu drop.
"biar sama gue aja kak, lo masih ada kelas kan?"
mengangguk, Selgi mengelus pelan punggung Lisa, "jangan dimarain Je, serius," katanya pelan, sambil jalan keluar kelas.
Jherin masih diam, tidak melakukan apapun selain duduk anteng di samping Lisa yang masih diam tengkurap. Bedecak pelan, kemudian tangannya mulai memijiat belakang leher Lisa, menggantikan tangan Selgi, meniru apa yang cewek itu lakukan tadi.
"gue ngomong seribu kali juga masih tetep kalah kan sama sifat perfeksionis lo itu?" tanyanya, walau sudah berusaha tidak terlalu ketara, suara berat penuh kesal cowok itu tidak bisa disembunyikan.
"kata kak Egi, gue jangan dimarahin."
"ya gue ga bakal marah-marah kalo lo masih haha hihi kayak biasanya, bukan cosplay jadi mayat," Jherin mendegus, ngeluarin satu kotak susu pisang dan sebungkus roti dari dalam tas, "bangun, makan."
Mengangkat kepala, Lisa ga bertingkah bodoh dengan membantah omongan Jherin. Karena dirinya sendiri bahkan sadar mukanya pasti udah pucet banget karena skip makan dan cuma minum kopi. Cewek itu mengunyah pelan, sama sekali ga berani lirik ke arah Jherin.
"ck, lo dan sifat perfeksionis lo itu ga pernah berubah. Masih ada satu bulan Lis, empat minggu, tiga puluh hari, dan lo pilih tiga hari untuk nyelesaiin semuanya. badan lo udah tinggal tulang begitu, manfaatnya apa sih."
Lisa menyedot susu pisangnya pelan, "J, kata kak Egi, gue jangan dimarahin," ujarnya membalas pelan.
"untung aja lo ga mati, ya, makanya masih bisa jawab balik," balas Jherin penuh sarkas, mendelik dengan tatapan paling sadis. Lisa terdiam, beneran udah ga berani bales, tapi bibirnya mencebik tanda protes dalam diam.
Jherin lagi-lagi cuma bisa geleng kepala, menyerah dan udah ga tau lagi gimana ngedepin sifat perfectionist Lisa yang udah ada di level nazi, a.k.a udah parah banget, "gue pesenin nasi padang, udah dianter ke bengkel. Buruan, ntar keburu dimakan anak-anak," ujar Jherin pada akhirnya.
Mendengar itu Lisa berdiri—untungnya ga oleng, langsung mengekor di belakang Jherin yang udah jalan duluan sambil nyangking tas punya dia.
"J,"
"Apa?"
"mau Aice jagung,"
"lo belom makan nasi ya,"
"pengen,"
"ck. Yaudah, nanti lewat kopma."
...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.