Amelia duduk di kursi kerjanya dengan terheran. Biasanya, Sekar sudah lebih dahulu mengisi kursi di sebelahnya.
Apa aku menjadi terlalu rajin hari ini? Batinnya.
"Mmm.. tidak." Gumam Amelia saat melihat jarum jam yang tertera di pergelangan tangan kirinya.
Amelia tetap ingin berpikiran positif. Mungkin Sekar terlambat karena lalu lintas lebih padat pagi ini. Benar saja, tak lama kemudian Sekar sudah muncul. Sayangnya, Amelia justru lebih khawatir lagi begitu melihat Sekar yang sedang berjalan ke arahnya.
Pandangannya terfokus pada scarf bermotif flora di leher Sekar. Benar-benar bukan style yang akan dipilih Sekar, kecuali dia ingin menutupi lehernya.
"Hai!" Sapa Sekar yang membangunkan Amelia dari lamunannya.
"Oh, hai." Amelia membalas senyum Sekar.
"Ngomong-ngomong, scarf mu terlihat indah. Boleh liat motif keseluruhannya." Lanjut Amelia.
"Tidak sekarang. Penampilan gue bisa langsung ancur kalo diambil sekarang." Sekar tertawa.
Meski Amelia tahu ada yang tidak beres dengan Sekar, tapi dia memilih diam. Dia cukup tahu diri untuk tidak terlalu ikut campur masalah Sekar, terlebih jika Sekar sendiri tidak ingin melibatkannya.
Pekerjaannya berjalan cukup lancar hari ini. Tidak banyak dokumen yang perlu diantar ke berbagai lantai. Tamu yang berkunjungpun tidak banyak. Hingga saat istirahat makan siang, dia dan Sekar memutuskan untuk ke kantin lebih awal.
Toh tidak akan ada yang berkunjung di jam istirahat. Setidaknya itu yang mereka pikirkan.
"Ini bener tempat kerja Sekar Kinasih?"
Amelia dikejutkan suara berat seorang pria. Dari penampilannya dia terlihat masih berusia belasan—atau setidaknya awal 20.
"Iy-yaa... Ada yang bisa saya bantu?" Cicit Amelia. Entah mengapa dia merasa sedikit ketakutan, mungkin karena pria muda itu tampak marah. Sedikit menyeramkan dengan wajah yang memerah.
"Mana Sekar? Suruh dia keluar!" Bentak lelaki tersebut. Amelia berjingkat karena terkejut. Tidak menduga akan diteriaki.
Beberapa orang yang lewat juga ikut menoleh ke arah mereka. Namun tidak ada yang mendekat meskipun Amelia tampak gemetar di hadapan pria muda yang sedang marah ini.
Ada hubungan apa antara pria ini dan Sekar?—tanya Amelia dalam hati.
"Kakak sudah membuat janji?"
"Ya ngapain pake bikin janji, gue it–"
"Rafa!" Sekar berlari dari arah kantin, menghentikan perkataan orang yang dia panggil Rafa.
"Ayo bicara di tempat lain." Sekar menarik tangan Rafa.
Amelia bersiap untuk mengikuti Sekar dan Rafa. Dia takut Rafa akan melakukan sesuatu yang buruk terhadap teman baiknya.
Sayangnya tangannya ditahan. "Jangan ikut campur." Amelia menatap orang yang menahan tangannya.
"Curiosity kills the cat." Lanjut Fatih.
****
****
****"Ayah udah masakin makanan kesukaan kamu, kita makan sama-sama yuk." Sucipto, Ayah Amelia, mendekati putrinya yang sedang duduk di halaman depan.
Amelia melihat ke arah sucipto sejenak. Dia mengikuti ayahnya yang berjalan masuk menuju meja makan.
Di sana sudah duduk Imah dan adiknya—Dika.
"Yah, Dika minta uang 500 ya. Buat beli buku persiapan masuk peguruan tinggi." Ujar Dika begitu Sucipto duduk.
"Tapi ayah belum gajian, nak."
"Ya cari pinjeman dong, Yah. Masa 500 ribu aja buat anak kita gak bisa diusahakan sih!" Imah ikut menimpali, memberikan pembelaan kepada anak kesayangannya.
"Itukan uang buat beli buku. Bukan buat macem-macem. Iya kan, Dika?" Tanya Imah. Dika mengangguk meyakinkan ayah dan ibunya dia tidak berbohong.
"Iya, besok Ayah cariin dulu."
Selera makan Amelia hilang disuapan kedua. Mendengar percakapan di meja makan.
Amelia memundurkan kursinya. Berdiri dan bersiap meninggalkan meja makan dengan membawa piring bekas pakainya.
"Kok udah? Habiskan dulu makanannya ya..." Sucipto menghentikan Amelia.
"Udah biarin aja sih, Yah. Dia mana mau makan masakan ayah dan ibu lagi." Imah memotong Amelia yang sudah bersiap membuka mulutnya.
Dia tidak ingin menanggapi ibunya. Dia tahu mereka akan berakhir dengan perdebatan panjang. Dia memilih melanjutkan tujuannya.
Mencuci piring dan kembali ke kamar.
"Lagian ngapain juga ayah pake masakin makanan kesukaan dia padahal tau ujung-ujungnya gak bakal dimakan!" Imah menggerutu lagi.
"Bu!" Sucipto menegur pelan
"Apa? Kan memang gitu!" Imah justru kembali terpancing marah.
Amelia yang sudah selesai mencuci piring segera kembali ke kamarnya. Dia membanting pintunya keras.
****
****
****"Kamu mau ke mana?" Tanya Sucipto yang melihat Amelia sedang mengemasi barang-barang dan memasukkan ke koper kecil berukuran 18 inci.
"Kamu tidak boleh pergi dari rumah kecuali jika kamu menikah." Lanjut Sucipto karena Amelia memilih diam.
Sucipto tahu, Amelia dan Imah tidak pernah akur. Ada saja yang akan Imah ributkan untuk mengganggu Amelia.
Hal ini membuat Amelia beberapa kali memilih meninggalkan rumah. Namun, sebanyak apapun Amelia meninggalkan rumah sebanyak itu pula Sucipto akan menjemputnya.
Dia bahkan pernah berlutut di depan pintu kos Amelia selama beberapa jam untuk membuat putrinya kembali ke rumah. Dia tidak mau Amelia lepas dari pengawasnya. Takut, Amelia memilih jalan seperti ibu kandungnya.
Ya, dia tidak ingin kehilangan Amelia. Satu-satunya yang tersisa dari perempuan yang dia cintai. Karena itu pula, Sucipto memberikan syarat jika Amelia ingin keluar dari rumah ini. Dia harus menikah. Dengan memiliki suami, akan ada orang lain yang menjaga dan mengawasi putrinya.
"Amelia ke Surabaya jumat ini."
Syukurlah, kali ini bukan berniat meninggalkan rumah—batin Sucipto.
"Pekerjaan atau liburan, Nak?" Sucipto yang semula berada di ambang pintu kini masuk ke kamar Amelia.
"Bukan urusan, Ayah."
****
****
****"Maaf, saya terlambat Tuan." Rega segera duduk di hadapan Fatih. Wajahnya penuh dengan keringat. Bisa dipastikan, dia berlari untuk sampai di sini.
"It's okay. Mana file yang gue minta?"
Rega menyerahkan amplop berwarna hitam kepada Fatih.
"Tumben telat, kenapa?" Fatih membuka file yang diberikan Rega. Memeriksa sekilas. Dia akan meluangkan waktu untuk membaca detailnya nanti.
"Tuan Besar mulai bertindak. Tuan Besar mengutus Roma untuk memberi peringatan, saya kualahan menghadapinya."
"Roma? What He did to you?" Fatih mulai khawatir. Mungkin keringat yang ada di wajah Rega bukan hanya karena dia berlari kemari. Mungkinkah Roma—sekretaris ayahnya—sudah melakukan sesuatu padanya?
"Bukan hal yang besar, Tuan."
"Jangan sampai terluka. Saat ini, gue cuma punya elu doang."
"Thanks buat ini!" Lanjut Fatih sembari berdiri dari kursinya. Dia harus segera meninggalkan tempat ini. Dia memiliki janji dengan Zendaya—sahabatnya.
"Tuan...." Rega ikut berdiri.
"Berhati-hatilah. Ada orang lain yang juga mencari tahu tentang Amelia."
****
****
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Amelia [21+]
RomanceIf 50 men call one women a 'hoe', you'll believe it. But if 50 women call one man rapist, you find it questionable- Amber Rose. **** **** **** Amelia mengerang, terbangun dari tidurnya. Dengan badan masih terbaring di ranjang, dia mencoba mengingat...