Selamat merayakan kepergian lalu yang membatu. Untuk sepasang mata sendu yang menatap haru lembaran kertas penuh tinta. Untuk pilu yang membisu di serangkaian syair tanpa makna. Sebuah prosa kuciptakan tanpa karena. Untukmu, dariku yang mencintaimu.
Seperti halnya embun hadirkan peluk paling damba pada doa-doa di penghujung muara. Engkau adalah hamparan kasih yang beterbangan bersama anila. Meski terkadang anala membakar amigdala namun nurani mampu mereda.
Tentang satu nama yang tak mampu kulangitkan, tak mampu kulukis pada tubuh swastamita maupun bersenandung di antara arunika.
Sejatinya, engkau adalah tumpukan bahagia yang tercipta pada genangan air mata.
Di separuh jantungku, berdetak ribuan kali harap. Menggebu merakit lentera sebagai cinta dari segala cinta. Meski bahumu bersandarkan segala ornamen dunia yang mencabik saat langkahmu berlarian mencari; jejakmu yang menuju entah;
Hanya di pelukku, engkau mampu menidurkan segala rahasia
Di setiap erat mengikat percaya atau menanam surga;
Ingatan tak akan merubah seluruh menjadi separuh dan penuh menjadi runtuh. Ia akan tetap tumbuh meski berlumuran keluh
Kelak, pada hidupmulah sebuah cita akan tercipta sempurna
Duduk berdua menghias purnama bersama, saling menatap kejora yang tak mampu melebihi indah matamu atau saling berbicara perihal lelahmu dan tangisku.
Kekasih, nabastala paling tinggi membuka pintu yang tersembunyi di balik dadamu. Memaparkan setiap cahaya yang membara asa. Tak akan kubiarkan engkau terambau hingga pukah. Dunia memang tak pernah abadi untuk kita yang tak sempurna. Tetapi mampu menyempurnakan dua yang saling;
Untuk cinta yang tak mengerti arti merasa;
Tak ada apapun yang mampu mengungkapkan indahmu, kekasih. Bahkan, Tuhan pun tahu akan hal itu. Karena hatiku adalah kerelaan yang kubiarkan kau bawa pergi maka jagalah ia sebagaimana rindu yang selalu kurawat tanpa henti.
Aku mencintaimu, dan akan selalu begitu
04 April 2020
