Dulu, dia saksikan begitu banyak bunga bermekaran dengan indah
Wanginya menguar ke seluruh jagat raya
Sebelum seekor kumbang menghampirinya, sehingga layulah kelopak, pudarkan segala semerbakDulu, dia begitu menikmati ririnai hujan
Selalu ingin berlama-lama memainkan tiap rintiknya
Sebelum petir menyambar, membuatnya gemetar
Ia bahkan takut untuk sekadar menyentuh remah-remah basahDulu, dinikmatinya embus angin sembari pejam sehingga merasakan ketenangan
Sebelum muncul badai yang merusak imaji, mengubah tenang menjadi amarahDulu, dia lihat lukisan bulan dan memeluknya dengan sepenuh cinta
Berkhayal bisa mendekapnya lebih lama
Sebelum kenyataan menampar, hancurkan lamunan yang ia rangkaiDulu, ia begitu terpesona kicau burung
Sebab nadanya menggambar seulas senyum di wajah gundah
Sebelum peluru mencipta gema, meniadakan merdu yang tenangkan kalbu
Kini yang terdengar hanya pilu, dari rintihan kicaunyaMengapa Tuhan mencipta mata untuk mengeja?
Jika yang terbaca adalah kehancuran
Mengapa harus merasa?
Jika yang dirasa hanyalah duka
Mengapa ada hati?
Jika yang hadir hanya menyakitiTiada lagi senyum
Tiada lagi sapa manja
Tiada lagi cahaya yang menyalaSemua sirna
Hanya air mata yang tersisa
Hanya murka yang terpendam
Bahkan ia enggan menatap bayangannya sendiriIalah Mawar Hitam
Tenggelam dalam gelap
Mencintai sepi
Mengutuk hiruk pikuk
Sendiri melawan duniaTinggallah harapan, akan kehadiran sosok yang mengulurkan tangan sebagai pemberi kekuatan
Rela berkorban menjadi perisai, membalut rapuhnya jiwa dengan cinta
Berusaha menjaga dan menjadi jalan sebuah kebahagiaan, tulus memberi, tanpa memikirkan alasan.