Aurel melirik kesamping sebentar. Iyan tampak gelisah, sejak tadi gerak-geriknya tidak karuan, Aurel dibuat resah dengan tingkah adiknya yang tidak bisa tenang sejak mereka berangkat. Dia mengerti Iyan gugup. Seperti kesepakatan sebelumnya, Aurel setuju untuk tidak memberitahukan masalah ini ke Dian dan Wisaka.
Dia berjanji akan menghadapinya bersama Iyan. Seharusnya poin itu sudah cukup untuk membuat kekhawatiran adiknya itu sedikit berkurang. Tetapi tetap saja, tidak ada kelegaan sama sekali yang bisa Aurel tangkap dari wajah itu.
"kamu takut, Yan?" Aurel melempar pertanyaan pertama. Meski tahu dia tidak akan mendapat sahutan, dia kembali bersuara. "percaya deh sama aku."
Iyan mendapat senyum penuh keyakinan dari Aurel. Meski sederhana, hal itu sudah lebih dari cukup untuk membantu hatinya sedikit lebih tenang. Dia yakin, Aurel adalah sosok yang paling bisa dia andalkan.
"mbak, boleh aku tanya sesuatu?" Aurel meliriknya kembali dan memberi anggukan setuju. Iyan mengambil napas sebelum melempar pertanyaan, seolah pertanyaannya begitu dia pertimbangkan dengan hati-hati. "selama satu minggu ini mbak lebih banyak diam. Apa karena pertemuan mbak dengan anak pak RT itu nggak berjalan baik?"
Aurel mendadak diam. Entah jawaban seperti apa yang cocok untuk pertanyaan sekritis itu. Aurel tidak terlalu suka membuka obrolan sensitif yang hanya akan mengundang rasa kesalnya semakin jauh. Sudah satu minggu, dia mencoba menghilangkan perasaan benci atas pertemuan itu. Melakukan segala upaya untuk lupa meski pada akhirnya ucapan laki-laki itu terus menghantui pikirannya.
"kalau itu jadi beban pikiran baru buat mbak, aku akan bantu bilang ke mama untuk ngebatalin. Toh nggak semua yang terlihat baik akan baik juga buat mbak." Mobil yang dikendarai Aurel telah tiba di parkiran sekolah tepat setelah Iyan selesai memberikan penawaran. Meski bagi Aurel hal itu tidak terlalu membantu, namun ia menghargai ucapan Iyan. Walaupun sebelumnya sosok itu sempat berkhianat.
"bukan karena anaknya pak RT, kok. Pertemuan kami baik-baik aja waktu itu." Sahut Aurel dengan wajah semeyakinkan mungkin. "aku Cuma lagi ada masalah sama editor. Novelku nggak bisa naik cetak dalam waktu dekat."
"mbak yakin Cuma karena itu?" Iyan meminta kepastian. Sorot mata nya menagih penjelasan dengan rinci. Dia tidak ingin selamanya dianggap sebagai anak bawang yang tidak tahu apa-apa. Meski tidak banyak yang bisa dia lakukan, dia hanya ingin mengerti apa yang sedang terjadi.
Aurel akhirnya tertawa kecil, memberikan pembenaran atas jawaban sebelumnya. "untuk seorang penulis, mengetahui novelnya gagal naik cetak itu bukan hal yang sepele, Yan." Aurel kemudian mengacak rambut Iyan yang sudah rapi. "ayo turun."
"eh Iyan." Begitu memasuki gerbang, seorang pria berseragam security menyambut mereka. Wajahnya tidak kelihatan tua, tetapi yang jelas usianya terlihat jauh diatas Aurel. "siapa neng cantik ini?" Aurel hanya tersenyum segan saat pria itu meliriknya.
"ini mbak saya, pak. Aurel." Aurel kembali menampilkan senyum ramah saat Iyan memperkenalkannya. "yang ini pak Dika, mbak. Bagian keamanan." Sekarang giliran Aurel yang mendapat senyum ramah. "saya harus presentasi di jam pertama, pak. Boleh bantu mbak Aurel cari ruangan wali kelas saya nggak, pak?"
Aurel melirik Iyan dengan heran. Kenapa tadi sewaktu briefing adiknya itu tidak menjelaskan kalau bukan dia yang akan mengantar Aurel ke ruangan wali kelasnya? Seharusnya dia sudah curiga saat Iyan memperkenalkannya dengan security.
"oh, boleh banget dong Yan. Masa' enggak sih buat mbak Aurel." Suasana jadi canggung untuk Aurel. Padahal dia bisa saja mencari ruangan itu sendiri tanpa bantuan. Kenapa harus melibatkannya dengan.. Ah dasar Iyan syaland.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Salah Jodoh
ChickLitDijodohkan merupakan mimpi buruk setiap orang. Tetapi untuk Aurel, mimpi buruk itu justru menjadi nyata. Menghantuinya tanpa belas kasih. Tadinya dia ingin memulai kerja sama dengan Satria Wijaya agar perjodohan mereka dibatalkan. Tetapi siapa yang...