06. Kenapa?

9 5 5
                                    

"Lo kenapa dah Vi! Datang-datang cengengesan nggak jelas!" ujar Oreb yang sibuk makan kerupuk.

Via baru saja bergabung bersama temannya di kantin sekolah di susul dengan Lakeswara.

"Buk ayam kecapnya satu ya!" ucapnya pada ibu kantin.

"Via. Kan disini nggak jual ayam kecap!" jawab Zeze polos.

"Buk ayam kecap satu," tiru Lakes kesal.

Oreb melirik curiga Lakes juga Via bergantian. "Wah, wah, wah, wah. Ada yang main rahasia-rahasian nih, cerita sabi kalii."

"Jadii ...."

"Via!" balas Lakes cepat dengan menggeleng keras, ia malu jika mukanya yang tak terkondisikan terlihat oleh mereka.

Via mulai mengambil ponselnya dan berniat menunjukan pada mereka tapi keburu direbut oleh Lakes.

"Parah nih! Kalian nyembunyiin apaan sih?"

"Lakess! Balikin ponsel aku!" pinta Via.

Keburu penasaran, Oreb menarik ponsel Via dari Lakes dan menyerahkannya kembali pada Via.

"Makasih Oreb ganteng."

Tangan Via dengan cepat mengetik sandi ponsel lalu menunjukan foto Lakes yang sempat ia ambil kemarin. Mereka langsung tertawa sejadi-jadinya, karena muka Lakes pada saat itu emang se-lucu itu.

***

Hari ini siswa siswi SMA Ghardha Bangsa diminta untuk berkumpul di aula sekolah. "Saya selaku Kepala Sekolah SMA Ghardha Bangsa mensetujui kegitan yang berlaku mulai besok."

Setelah pengumuman tersebut, mereka semua bubar. Yang tersisa hanyalah Via, Zeneta, Oreb, Kalid, Devan, Biantara juga Lakeswara. Mereka sekelompok.

Acara peduli sesama, merupakan acara rutin tiap tahun SMA Ghardha Bangsa. Tujuan utamanya adalah untuk membentuk kesadaran serta sikap empati terhadap sesama tanpa membedakan suku, ras, maupun agama. Diacara tersebut para siswa siswi diharapkan dapat membantu masyarakat sekitar yang membutuhkan bantuan.

"Anya sama Alora, ikut gabung kelompok kalian ya," ucap Anya yang tiba-tiba muncul.

"Dengan senang hati Anyaa," balas Kalid.

Keesokan harinya. Tempat yang mereka kunjungi yaitu rumah warga yang berprofesi sebagai pemulung. Banyak anak-anak kecil menggunakan pakaian yang kurang layak. Tapi mereka tertawa satu sama lain seolah-olah tidak memiliki beban hidup.

Sampah-sampah plastik bertumpukkan tepat di samping rumah warga. Pakaian-pakaian digantung di depan rumah serta sebagian ibu-ibu berjalan dengan kantung berisikan plastik di atas kepala mereka.

Oreb membawa papan tulis berukuran kecil, sedangkan Bian dan Kalid membawa beberapa kotak makanan. Devan bertugas dengan kamera untuk mendokumentasikan kegiatan, dan Lakes membawa kotak dengan isi buku, pensil, juga alat mengambar lainnya.

Alora menghampiri kumpulan anak kecil yang sedang bermain dengan menggunakan karet. "Permisi adik-adik," sapanya.

"Kakak siapa?" tanya mereka.

"Kakak boleh minta tolong enggak? Kalian kumpulin semua teman-teman kalian yang kalian kenal."

"Untuk apa Kak?"

Alora sedikit melirik ke arah teman-temannya yang sibuk menata tempat untuk belajar. "Ini. Kami mau bagiin sesuatu buat kalian, sama mau ngajarin kalian pelajaran."

Mereka saling senggol satu sama lain. "Seni, panggilin teman-teman kita," bisik salah satu anak kecil kepada temannya.

"Kita ngapain sih ke tempat kayak gini, bau tau," bisik Zinovia pada Lakeswara.

"Vi? dijaga omongannya."

Anak-anak mulai berdatangan, sekitaran 20-an anak yang ikut belajar bersama mereka. Sudah terdapat karpet dan papan tulis dengan penyanggahnya di depan mereka. Lakeswara dan Biantara mengajari pelajaran ke anak-anak tersebut sementara Zinovia dan Zeneta hanya asik bermain ponsel tanpa ikut membantu sedikitpun.

"Tadi udah Kakak bahas tentang perjumlahan, pertambahan, dan perkalian. Sekarang pertanyannya, berapa 25-8+5×8?"

Setelah beberapa menit Lakes menunggu, akhirnya mereka semua selesai mengerjakan soal yang Lakeswara berikan.

"Ada yang tau jawabannya."

"Saya Kak," ucap seseorang sambil menunjuk tangan.

"Ya kamu. Berapa?"

"176."

"176? Yakin?" tanya Lakes memastikan.

Sementara itu ada salah satu anak yang malu untuk menyuarakan pendapatnya, takut jawabannya salah.

"Lindy tau jawabannya?"

"Kalau Lindy jawabannya 57 Kak."

"Nah, iya. Jawabannya 57. Setiap ada perjumlahan sama perkalian, yang dijumlah harus perkalian terlebih dahulu baru yang angka awal, diingat ya."

"Baik Kak!" lontar mereka serempak.

Bian sedikit melirik arloji miliknya. "Udah waktunya makan siang dan kami sudah siapin kalian nasi kotak jadi dimakan ya."

"IYA KAK!"

Zeneta melirik Zinovia. "Makan yuk, Vi. Lapar."

"Duluan aja, Via mau ke Lakes dulu."

Setelah sibuk mencari Lakeswara kesana dan kemari. Akhirnya Zinovia menemukan Lakeswara, namun seketika tubuh Zinovia membeku, pandangannya hanya tertuju pada punggung Alora dan Lakeswara yang duduk berdekatan tanpa spasi di antara mereka, tertawa bahagia tanpa rasa cangung. Perlahan tubuh Via berjalan mundur, ingin sekali rasanya ia teriak agar mereka sadar bahwa Via ada di sini, Via pacar Lakes menyaksikan semuanya, tapi itu semua percuma karena itu akan memperburuk keadaan. Bukannya Via tidak cemburu namun Via sadar bahwa hubungannya dengan Lakeswara sedang tidak baik-baik saja.

Zinovia berbalik arah, tubuhnya tertabrak oleh gadis kecil yang sedang membawa dua gelas es teh, sekarang teh itu malah tumpah tepat di baju Zinovia.

"CK. PUNYA MATA TUH DIPAKEK! Kamu nggak lihat baju aku basah. Hah! Kamu juga nggak akan mampu ganti baju aku!" jerit Zinovia sembari mengatur deru napas, ujung matanya terdapat butiran bening yang siap jatuh kapan pun. Mendengar teriakan Zinovia, lantas Alora juga Lakes menghampirinya.

Tampak jelas raut gadis kecil yang habis dimarahin oleh Zinovia itu badannya gemetaran, Lakes menarik tangan anak itu agar menjauh dari Zinovia. "Bisa nggak usah pake emosi nggak sama anak kecil? Nggak usah teriak-teriak! emosinya dijaga, anak kecil loh Vi!"

Ucapan Lakeswara berhasil membuat air mata Zinovia jatuh 'maaf' satu kata yang dia ucapkan di dalam ulu hatinya sebelum dia pergi meninggalkan mereka.

Langkah Zinovia terhenti di belakang rumah salah satu warga, dia memilih berjongkok dan menangis sepuasnya di sana. "BODOHHH! VIA BODOHH! Lo kenapa nggak bisa tahan sedikit emosi lo—kenapaa? ...," sesal Via seraya memukul kepalanya menggunakan kedua tangan.

Disela-sela tangisan Zinovia. Ia mendengar derap langkah seseorang yang menuju ke arahnya, dengan pipi yang masih basah akibat tangisan, dengan mata yang masih memerah dan dengan emosi yang masih memuncak. Zinovia menatap seseorang yang menjulang tinggi di hadapannya.

Seseorang itu adalah Devan, sahabat sedari kecil Zinovia. Tanpa dipersilakan Devan ikut berjongkok di samping Zinovia. "Gue tadi enggak sengaja lihat lo marah-marah," kata Devan.

Lama sekali Zinovia menatap Devan yang berada di sisi kirinya, entah sejak kapan kepala Via menjadi ringan dan terjatuh tepat di pundak Devan. "Gue—gue—gue."

"Lo nggak perlu ngejelasin apa pun. Kalau mau nangis, nangis aja."





Jangan lupa di vote yaa

LAKESWARA (on going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang