Dio sudah keluar masuk ruang IGD 2 kali malam mini, detak jantung semakin melemah. Kakak yang sedari tadi menunggui menjadi panic. Panic akan kehilangan adik kesayangannya ini.
“kakak” panggil Dio tersadar dari alat kejut
“kenapa Dio? Kakak disini?” kakak menggenggam erat kedua tangan Dio
“Dio kenapa? Dio mau operasi lagi ya?” tanya Dio polos
“gak kok, gak”
“ibu mana? Kok sampe sekarang ibu gak dateng?” untuk kesian kalinya Dio bertanya seperti ini, setiap pertanyaan ini dilontarkan untuk kakaknya. Kakaknya bingung mau menjawab apa.
“udahlah, yang penting Dio sehat”
“Dio gak bakal sehat tanpa didampingi oleh ibu. Karna ibu adalah segalanya bagi Dio”
Air mata kakak yang sedari tadi tertahan, kini tak terbendung lagi. Miris melihat betapa sayang adik nya dengan ibu. Tetapi sayang itu tak pernah mendapat respon yang berarti.
“kak Dio ngantuk”
“ngantuk?”
“ehm, tadi waktu Dio tidur. Dio mimpi ibu anterin Dio kesekolah pake baju putih biru. Dio suka sama mimpi Dio itu” jelas Dio tersenyum
“kak, Dio kok capek banget ya? Kok mata Dio ngantuk banget?”
“Dio bertahan lah”
“kakak denger ada suara ayah? Ayah manggilin Dio, Dio mau nyusul ayah ya kak!”
“Tidak! Dio harus nemenin kakak disini! Dio gak boleh pergi kemana pun!” seperti mengetahui apa yang akan terjadi. Kakak Dio memegangi tangan Dio makin erat
“Dio sayang kakak, juga sayang ibu. Oh iya, Dio juga sayang Randi, Bu Tia, dan Pak Andi. Jangan lupa’in Dio ya! Dio mau pergi. Bilangin sama Randi semangat sekolah” perlahan detak jantung Dio semakin lama semakin melemah.
“Dio!! Dio!! Dio!!!” kakak menjerit melihat detak jantung Dio yang hilang seketika.
Dokter sudah siap dengan alat kejut mereka, tegangan terus ditambah dan ditambah. Tapi apa daya, detak jantung Dio tak bisa kembali. Kini dia beristirahat dalam keadaan sayang dengan semua orang yang disekitarnya.
.
.
.
Kakak tak henti menangis semenjak kepulangannya dari rumah sakit. Begitu juga bu Tia, pak Andi dan Randi. Ibu juga menangis, dialah yang paling terisak. Seperti penyesalan akan terus membekas dihatinya. Seluruh teman – teman Dio telah berdatangan kesekolah, melihat teman periangnya yang telah membujur kaku.
“Dio! Maafin ibu nak! Ibu salah! Bangun nak ayo bangun. Ibu disini, ibu sayang Dio. Dio sayang sama ibukan? Bangun nak bangun!” ibu menggoncang – goncang tubuh Dio yang telah kaku dan dingin.
“sudahlah bu tenang, sabar” bu Tia mencoba menghibur ibu Dio
“bu, apa ibu tau apa yang dikatakan Dio sebelum pergi?” semua orang menyimak ketika kakak bicara seperti itu
“apa?” tanya ibu disela – sela tangisannya
“dia tetap menyayangi ibu, dan Dio bilang dia gak bakal sehat tanpa didampingi ibu” mendengar hal itu Ibu semakin menjadi – jadi menangis. Seperti orang yang hilang kendali, emosinya tak karuan.
“kak, Dio ada bilang apa lagi?” tanya Randi yang tengah berlinang airmata
“Dia bilang, dia sayang Randi terus Randi harus rajin ke sekolah. Dan dia juga sayang sama Bu Tia dan Pak Andi”
“Dio” Randi menyebut nama Dio perlahan dan meneteskan air matanya begitu deras. Kakak memeluk Randi
“Randi sayang Dio kak”
“kita semua sayang Dio, tak ada yang tak sayang Dio”
Hari itu, Dio dimakamkan tepat disamping makam ayahnya. Wajah Dio begitu berseri – seri ketika kain kafan nya dibuka. Seperti penyakit ganas yang terdapat didalam tubuhnya telah hilang, dan telah dicabut begitu saja. Dio anak periang, anak penyayang kini telah tiada. Dia pergi bersama kasih sayang semua orang. Dan juga tepat dengan perkataannya, dia telah menemani ayahnya disana.
Tertanda
Octifani Dewinda
------------
selesai! yeay! :3
bagaimana ceritanya? comment yaw, bakal dibales kok. dan untuk pembaca gelap, gak aus apa gelap - gelapan mulu :( vote ya, kalo gak tau vote, kadih bintang. B I N T A N G !
yang kekeuh jadi pembaca gelap. i love you so much lah!
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Mencintai Ibu Selamanya
Short StoryAku terinspirasi dari kisah nyata. ya, cerita ini sebuah kisah nyata. terjadi di lingkungan tempat tinggal ku, tapi bedanya anak yang menderita penyakit ini belum meninggal. tapi dicerita ini aku buat anak itu meninggal, dan untuk semangat anak lel...