01: Us

13.3K 763 16
                                    

I love you

Although you are not here beside me at the moment

.

.

.

Aku menatap daun-daun berguguran tertiup angin, yang jatuh dari pohon tempatku bernaung saat ini. Udara dingin yang menusuk kulit membuatku merapatkan jaketku agar merasa hangat. Setelah merasa cukup kuat, aku kembali berjalan menyusuri jalan setapak yang dipenuhi dedaunan kering ini. Warna tanah, bercampur dengan kuning kecoklatan dari dedaunan itu membuat perpaduan yang indah sepanjang jalan ini.

Angin September kembali bertiup, menerbangkan beberapa helai rambutku yang terlepas dari jalinannya. Aku mengenyampingkan helai tipis itu, lalu kembali menggeletuk. Aku menggigil.

Kalau kamu ada disini, kamu pasti udah ngetawain aku.

Aku tersenyum tipis, membiarkan beberapa kenangan bermain di otakku, dalam perjalananku melintasi jalan setapak ini.

.

.

.

"Sumpah! Lo bisa diem nggak, sih?"

Aku memberengut mendengar ucapan tidak senang dari cowok di hadapanku itu. Dia yang daritadi sibuk dengan Xbox-nya akhirnya menggubrisku. Namun, bukannya membantu, ia malah menyuruhku diam. Tanpa berkata-kata lagi, aku merapikan buku-buku pelajaranku yang berserakan di atas meja lalu segera melengos keluar ruangan.

"Eh, lo ngambek?"

Cowok yang tadi perhatiannya sama sekali tidak terarah kepadaku kini mengejarku keluar ruangan. Hah. Kalau masalah dia, aku hafal betul. Tinggal pura-pura ngambek saja, dia akan luluh.

"Lo terusin aja mainnya," ucapku, meneruskan aksi ngambekku. "Sorry ganggu." Aku kembali melanjutkan langkah.

Ia mendengus seraya kembali mengejarku. "Ra, jangan gitu ah."

Aku diam saja. Menunggunya meminta maaf. Tunggu saja sampai hitungan ketiga.

Satu..

Dua..

Ti-

"Maafin gue deh."

Tuh, gampang kan, menaklukkannya?

Aku tersenyum tipis, puas akan kemenangan kecilku.

"Lagian lo ngapain juga minta ajar Matematika sama gue?" tudingnya, mencari alasan agar tidak disalahkan. "Lo kan lebih jago."

Sungguh ciri khasnya.

Lagipula, dia berbohong. Meskipun dia jarang belajar dan lebih mementingkan game-nya yang tidak jelas itu, dia tidak pernah mendapatkan angka di bawah 8 di sekolah. Berbanding terbalik dengan aku, yang harus bersusah payah mempertahankan nilai yang juga susah payah kuraih.

Gantian, aku yang mendengus. "Kalo nggak mau ngajarin, bilang aja."

Aku kembali melangkah, dan kembali ditahan olehnya.

"Ck, ya udah deh gue ajarin!" ucapnya, setengah tidak ikhlas.

"Ada apa, nih, ribut-ribut?" Seorang wanita paruh baya dengan celemek merah melapisi bajunya tiba-tiba menghampiri kami. Alisnya bertaut, menuntut penjelasan dari kami.

"Ares nggak mau ngajarin aku, Tante," aduku.

"Res...," tegur wanita itu—Tante Ana, yang merupakan ibunya.

"Ma, tapi kan Ares lagi main..."

"Kamu main game?" Tante Ana memotong perkataannya. "Tadi bilangnya mau belajar?"

Ia meringis. "Gara-gara lo, nih," katanya pelan, sehingga cuma aku yang mendengar.

Aku kembali memberengut. "Tuh kan, Tante, dia nyalahin aku," aduku lagi, dengan suara yang kubuat manja.

"Ares...,"

"Iya iya, Ma!" sanggahnya cepat, karena kalau tidak, ibunya akan menceramahinya panjang lebar. "Sini lo." Dia menarik tanganku, kembali memasuki ruangan yang tadi kami tinggalkan.

Aku diam-diam tersenyum. Mengganggunya dan membuatnya menggerutu adalah kebahagiaan tersendiri bagiku.

Oh ya, namanya Ares Artamedja. Dia sahabatku sejak aku bahkan belum tahu apa itu sahabat.

.

.

.

I love you

Although you are not beside me at the moment

Because you were here, my world is filled with happiness

———

A/N: Mulai belajar nulis pake POV orang pertama. Semoga nggak aneh :")

(Based on song: Because of Me by Krystal Jung)

YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang