03: Loss

5.6K 590 35
                                    

I'm sorry, I'm sorry

Because of me, you must've been tired

because of me, you must've hurt like a fool

.

.

.

Jarak yang ada di antara aku dan Ares kini kian membentang.

Aku mulai bergabung bersama beberapa teman perempuanku saat istirahat atau makan siang di kantin. Sesekali ikut nimbrung bersama Vino dan teman-temannya. Sedangkan Ares, ia makin jarang terlihat. Tapi biasanya, ia bersama Nata, teman sebangkunya.

Oh ya, menjemput dan mengantarku ke sekolah yang biasanya merupakan tugas Ares, kini diambil alih oleh Vino. Berhubung rumah kami berbeda arah, aku bersikeras untuk pergi ke sekolah dengan busway. Vino awalnya menolak, tapi akhirnya menyanggupi dengan catatan dia harus mengantarku pulang setiap hari. Aku setuju-setuju saja. Siapa sih yang menolak?

Aku ingat persis hari itu, hari Rabu yang disertai dengan hujan gerimis. Aku berlari-lari kecil ke pelataran parkir dengan tas yang ku angkat ke atas untuk melindungi kepalaku agar tidak terkena hujan. Aku menengok kanan kiri, berusaha menemukan motor Vino. Ketika menemukannya, aku segera berderap menghampiri.

Seketika, aku tersentak melihat apa yang terjadi di sana.

Vino di hadapanku, dengan wajah babak belur. Sudut bibirnya berdarah, mata kirinya lebam, dan terdapat memar di kedua pipinya. Bajunya basah, bercampur darah dan air hujan. Kakinya kini tidak menapak di tanah, karena kerah seragamnya dicekal oleh seseorang.

Ares.

"ARES!" pekikku. Keduanya menoleh, dan saat itu juga Ares melepaskan cekalannya pada Vino.

Wajah Ares juga lebam, tapi tidak separah Vino.

"Lo gila ya, Res?!" Pertanyaanku lebih terdengar seperti teriakan. Aku segera berlari, berlutut di sebelah Vino yang tidak sanggup lagi berdiri. "Kamu nggak papa?" tanyaku, disambut gelengan lemah olehnya.

Aku kembali mengalihkan pandanganku kepada Ares yang bergeming di tempatnya. "Kenapa lo giniin Vino?" tanyaku lirih.

Ia menggeleng. "Ra—"

"Apa masalah lo?" Aku memotong ucapannya.

Ares hanya diam memandangku, dengan tatapan yang sulit kuartikan.

"Sejak kapan lo berubah jadi brengsek gini, Res?" tanyaku lagi, tajam dan menikam.

Tetap, dia tidak bergeming di tempat. Ekspresinya sulit ku lihat, karena tersamarkan oleh air hujan.

"Gue benci lo, Ares," tandasku.

Dengan sisa tenaga yang kumiliki, aku bangkit dan membopong tubuh Vino ke UKS. Meninggalkan Ares yang tidak bergerak sejengkal pun dari tempatnya.

*

Keesokan harinya, Ares maupun Vino tidak ada yang masuk sekolah.

Saat istirahat makan siang, aku memilih duduk seorang diri di pojok kantin sambil menikmati bekalku. Waktu itu, aku benar-benar sedang butuh sendirian untuk menjernihkan pikiran. Aku hanya perlu tempat tenang agar aku bisa berpikir lurus dan tidak mengada-ada. Untuk saat itu, aku tidak membutuhkan teman.

"Sendirian?"

Aku mendongak, mendapati Nata—teman sebangku Ares—yang melontarkan pertanyaan barusan. Ku anggukkan kepala sebagai jawaban. Tanpa meminta persetujuanku, ia duduk menempati kursi kosong di sebelahku.

YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang