I love you, I love you
Because of you I'm like this
Because of you I cry these tears
.
.
.
Mobil ambulans datang lima belas menit setelah kejadian itu. Perasaanku bercampur aduk, antara kesal, marah, sedih, kecewa. Semua menyatu dalam diriku. Air mataku jatuh ketika berderap kepada Ares yang terbaring lemas di atas tandu. Matanya sayup-sayup terbuka dan sorotnya lemah.
"Res...," panggilku lirih.
Dengan sisa tenaga yang ia punya, ia menolehkan kepala mencariku. "Rara?"
Air mataku dengan cepat berubah menjadi isak tangis.
Saat tandunya di angkat ke ambulans, aku mengikutinya. Beberapa luka di tangani dengan pertolongan pertama di sana, seperti luka di bagian belakang kepalanya dan tulang dadanya.
Aku duduk di sampingnya saat sirine ambulans dinyalakan dan mobil mulai berjalan.
"Maaf, Res," ucapku. Air mata terus mengalir membasahi pipiku. Aku memejamkan mata, berharap sesak di dadaku ini sedikit berkurang.
Sebuah tangan mengusap air mataku, membuatku refleks membuka mata. Tangan Ares. "Jangan nangis," ucapnya, lebih menyerupai bisikan. "Gue—nggak suka liat ... lo nangis."
Aku mengangguk dan segera mengusap air mataku, dan bersusah payah menahan yang lain agar tidak tumpah.
"Jaga diri lo ... baik-baik, Ra," ucapnya lirih. "Janji sama gue, lo bakal nemuin ... kebahagiaan lo."
"Lo ngomong apa Res—"
"Sssttsss," Ares menyuruhku diam. "Janji dulu."
Aku mengangguk yakin. "Gue janji."
Ares mengelus pipiku pelan seraya tersenyum lemah. Perlahan-lahan, ia menutup kedua kelopak matanya. Bersamaan dengan gerakan tangannya di wajahnya yang semakin lama semakin lemah, hingga berhenti bergerak.
.
.
.
Aku telah sampai di tempat tujuanku; Gundukan tanah dengan nisan di atasnya, bertuliskan nama orang yang kucintai.
Tempat ini adalah pemakaman keluarga Artamedja. Baru ada tiga yang menempati—kakek dan nenek Ares, serta Ares.
Ya, Ares meninggal saat kami baru tiba di rumah sakit waktu itu. Aku memejamkan mata, menikmati rasa sakit yang kini mendera dadaku, membuat nafasku tercekat. Sudah lima tahun belakangan, aku terbiasa hidup dengan rasa sakit ini.
"Ares...," sapaku, sembari berjongkok di samping makamnya. "Aku tiba-tiba kangen kamu, jadi aku langsung ngambil flight terdekat kesini, buat ngunjungin kamu."
Oh ya, pemakaman keluarga Artamedja terletak di Anna Paulowna, kota yang berada di bagian utara Belanda. Menurut Tante Ana, Ares pernah berkata dengan nada bercanda bahwa ia kelak ingin dimakamkan disini.
Maka, setelah malam itu, candaan Ares benar-benar terwujud. Ia benar-benar terbaring selamanya di tempat ini.
"Res, kamu ingat Nata temen kamu, nggak?" Aku kembali mengusap air mataku yang lolos ke pipi. "Minggu lalu dia ngelamar aku, loh. Dia minta aku buat jadi istrinya."
Hanya hembusan angin yang menemaniku bermonolog di sisi makam Ares. Aku kembali merapatkan jaketku agar merasa hangat.
"Res, dulu kamu suruh aku janji buat nemuin kebahagiaan aku, kan?" ucapku. "Aku rasa, aku udah nemuin cara untuk bahagia sekarang."
Aku menerawang ke atas langit. Memandang mentari yang masih enggan keluar dari persembunyiannya.
"Aku rasa ini yang terbaik, Res. Aku juga tau kamu berpikir begitu," kataku. "Kita sama-sama tau ini yang terbaik."
Aku menghela nafas sekali lagi. "Aku bahagia, Ares."
Itu saja yang ingin ku sampaikan. Meminta izin padanya, sebelum melaksanakan keputusanku.
.
.
.
Headline News Today:
Seorang Gadis Ditemukan Tewas Bunuh Diri Di Samping Makam Kekasihnya.
.
.
.
I love you, I love you
Because of you I'm like this
Because of you I cry these tears
Although I may never see you again
I'll be alright
Because I love you
The End
———
A/N: .....what's on your mind? Tell me!
![](https://img.wattpad.com/cover/35123905-288-k755905.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
You
Короткий рассказKenapa kau menyuruhku mencari kebahagianku? Padahal kau tahu jelas kebahagiaanku adalah dirimu Padahal kau tahu pasti kebahagiaanku adalah berada disisimu Karena bagiku kau adalah berharga Karena bersamamu adalah segalaku. Copyright © 2015 by vachaa