Sastrayudha & Yumna

24 2 0
                                    


Arlojinya menunjukkan pukul 09.43 pagi. Ia menyesap perlahan kopinya yang sudah hampir dingin, lalu meletakkan kembali cangkir itu ke atas meja kerjanya. Tatapannya kosong dan menerawang. Namun, disaat bersamaan netranya juga tampak seolah bisa menembus dinding ruangannya. Perlahan jari telunjuknya bergerak melingkar di tepi cangkir kopinya, sesekali terdengar suara decitan karena cangkir itu sedikit bergeser.

Lelaki itu bangkit dari kursinya seraya melangkah keluar dari ruangan itu dan menuju kamarnya. Ia membuka laci nakas di samping tempat tidurnya dan mengambil hair trimmer miliknya yang selalu ia gunakan setahun belakangan ini. Kemudian ia menatap pantulan dirinya di cermin. Di sela bingkai cermin terdapat sebuah foto berukuran kecil yang sengaja ia selipkan disana. Sastrayudha, lelaki berusia akhir 20-an itu menatap nanar foto tersebut, foto seorang wanita yang selalu membuatnya kehabisan kata-kata. Seorang wanita yang tak ubahnya seperti anyelir yang ia temukan di antara ilalang yang menjulang tinggi, layaknya mutiara yang tersimpan di dasar lautan yang teramat gelap, laksana emas berlian yang terpendam jauh di relung buana.

Ia mulai mengarahkan mata pisau hair trimmer yang ia genggam ke kepalanya dan perlahan mesin itu mulai memangkas rambutnya, nyaris habis. Padahal rambut lelaki itu belum bisa dikatakan panjang, meskipun memang ia tidak pernah lagi memanjangkan rambutnya, sejak setahun lalu.

"Lihat, Yumna. Bukankah aku sudah berjanji untuk menggunakan gaya rambut yang sama denganmu supaya kau tidak lagi malu? Aku selalu menepati janjiku," gumam Sastra seraya menatap pantulan dirinya yang kini dengan rambut cepaknya. Bibirnya tampak mencetak sebuah senyuman, sedangkan matanya memancarkan sendu. Tak lama setelah itu, Sastra bergegas melajukan mobilnya menuju florist yang sama setiap ia hendak menemui gadisnya.

Kini ia telah menggenggam buket bunga Marigold seraya melangkahkan kakinya memasuki hamparan tanah dengan ratusan pusara. Tampaknya kakinya sudah hafal betul dimana letak pusara gadisnya berada. Lalu ia berjongkok di samping nisan bertuliskan nama Yumna Larissa, gadisnya.

Tangannya bergerak mengusap perlahan batu nisan itu dan ia meletakkan bunga Marigold yang ia bawa barusan.

"Yumna, aku datang lagi. Aku tidak lupa ulang tahunmu, sama sekali tidak lupa. Kenapa kau repot-repot menemuiku di mimpi, sedangkan aku sudah pasti akan datang kesini.

"Kubawakan lagi bunga ini. Bunga Marigold. Meski aku tahu kau lebih suka mawar putih. Kau tahu kenapa aku selalu membawakanmu Marigold alih-alih mawar putih?

"Karna katanya, makna bunga Marigold itu keputusasaan serta kesedihan karena telah kehilangan cinta. Tapi aku rasa aku tidak kehilanganmu, sebab kau milikku sampai kapanpun.

"Aku senang kau tidak lagi harus menahan sakit dan menderita setiap harinya. Kau tidak lagi perlu pura-pura tersenyum untuk menyembunyikan penderitaanmu. Kau tidak lagi harus melihatku panik dan ketakutan setiap kondisimu memburuk.

"Yumna, kau tahu kan yang selalu aku ingin lakukan adalah menghentikan semua deritamu. Bukankah dunia tampaknya sangat tidak adil memberikan semua beban itu padamu.

"Hidup di dunia bahkan kurasa tidak lebih baik dari hidupmu saat ini di sana. Kau pasti bahagia dan tenang kan? Itu yang selalu aku harapkan.

"Yumna, berterimakasihlah padaku. Sebab aku yang mengirimmu ke Surga, dengan tanganku sendiri."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
One Shot StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang