Diego & Ilona

11 1 0
                                    


Wajahnya teduh, rasanya seumur hidup pun tak cukup untuk memandanginya saja. Suaranya juga lembut, dan jika telingaku bisa tersenyum, ia akan tersenyum setiap mendengar tutur katanya. Sebenarnya, ia hanya wanita biasa seperti pada umumnya, tidak ada yang begitu spesial, hanya saja ada sesuatu yang ada pada dirinya yang tidak kutemukan dari orang lain. Dia menenangkanku, aku tenang selama bersamanya.

Kiranya sudah ratusan kali kukatakan bahwa aku telah jatuh sejatuh jatuhnya kala ia mengobati lukaku saat pertama kali kami berjumpa. Saat itu yang kupikirkan setidaknya aku mengetahui namanya. Ilona, rasanya aku ingin berterimakasih pada orang tuanya atau siapapun yang memberikan nama indah itu padanya.

Aku tahu betul, saat itu aku tak boleh mencintai siapapun. Tapi siapa sangka, rupanya takdir begitu mempermainkanku dengan mendatangkan rentetan kebetulan yang mempertemukanku lagi dengannya, Ilona.

Baiklah, jika ia hanya wanita biasa, maka aku pun hanya seorang pria biasa yang tak dapat ku pungkiri bahwa aku semakin menginginkannya. Namun, pilihanku cuma dua, pergi dan melupakannya atau membawanya pergi sejauh-jauhnya. Karena sejatinya tak ada satupun tempat yang aman untukku dan untuk siapa pun yang bersamaku.

Nyatanya egoku memilih pilihan kedua. Kini kami berdua sedang berjalan di jalan setapak. Aku menggenggam tagannya erat, sesekali menoleh dan saling melempar senyum. Tampak kedua matanya menyipit saat semilir angin sore menerpa wajahnya.

Ilona, aku selalu mencintaimu seolah tiada hari esok. Setiap harinya namamu selalu ada dalam doaku yang kubisikkan pada bumi dan kuharap itu akan menggema pula di langit. Ku harap Tuhan tidak bosan mendengarnya.

Namun, agaknya kali ini takdir tak lagi bermain-main denganku saat sebuah peluru menembus dada Ilona, tepat di hadapanku ia jatuh tersimpuh. Aku merengkuhnya dengan tangan gemetar, sedangkan kedua mata Ilona tampak perlahan menutup. Sungguh, duniaku rasanya runtuh saat itu juga.

"ILONA!!!"

Peluh membasahi pelipisku. Mataku terbelalak dan napasku tak beraturan. Beberapa detik kemudian aku menepuk-nepuk pipiku. Astaga, ini hanya mimpi. Aku mengusap wajahku dengan gusar, berusaha menenangkan diri.

Pintu kamar terbuka, memunculkan sosok wanita yang ada dalam mimpiku barusan. "Kamu kenapa teriak? Padahal Jia baru aja bisa tidur," ucap Ilona seraya menutup kembali pintu itu.

Aku menghela napas panjang, rasanya lega melihatnya nyata tepat di depan kedua mataku saat ini. Aku terduduk di tepi ranjang, sedang ia melangkah mendekatiku.

"Kamu mimpi buruk lagi, hm?" tuturnya sembari mengusap kedua sisi wajahku. Tatapan teduh itu lagi-lagi menenangkanku. Aku memeluk pinggangnya yang masih berdiri di hadapanku, sedangkan ia meletakkan dagunya di puncak kepalaku dan menepuk-nepuk punggungku perlahan. Ia tahu betul cara menenangkanku.

Malam itu aku membiarkan Ilona tidur berbantalkan lenganku. Sebab aku yang meminta untuk memeluknya sepanjang malam. Ia terlelap lebih dulu, sedang aku menyelipkan surai hitamnya ke belakang telinganya dan sibuk menatap wajahnya lamat lamat.

Aku menoleh ketika pintu kamar terbuka. Jia, buah hati kami, datang dengan boneka teddy bear di pelukannya. Perlahan aku mengangkat kepala Ilona dan menarik lenganku dan menggantinya dengan bantal.

"Ayah, Bunda, Jia boleh tidur disini nggak?"

"Kesayangan ayah kenapa?" tanyaku saat mengangkat gadis kecil ini ke atas pangkuanku.

"Jia takut, ada monster."

"Nggak ada monster, sayang, mungkin Jia cuma mimpi buruk."

"Beneran Ayah, ada monster, Jia takut."

Tidur nyenyak Ilona tampaknya terusik karena kedatangan Jia, ia mengerjapkan matanya dan tersenyum saat menyadari keberadaan Jia. "Sini, sayang," ucapnya sambil menepuk-nepuk tempat di sebelahnya, lebih tepatnya di tengah tengah kami.

Jia tertidur setelah sekitar sepuluh menit Ilona mengusap-usap punggungnya yang sudah menjadi kebiasaan untuk membuatnya tidur. Namun, tak lama setelah itu, aku mendengar suara benda terjatuh dari arah samping rumah kami. Ada yang tidak beres. Kurasa Jia menyebutkan ada monster juga bukan tanpa alasan.

"Ilona, bawa Jia ke ruang bawah tanah," titahku dengan penekanan. Ilona langsung mengerti maksudku. Ia menciumku sejenak sebelum membawa Jia. Sedangkan aku mengambil pistol yang selalu ada di bawah bantalku.

"Diego, jangan mati hari ini," ucapku pada diri sendiri, sebab ada dua orang yang harus ku lindungi. Atau justru sejak awal Ilona tak seharusnya menikah dengan mafia sepertiku?

Ku harap ini bukan hari terakhirku mencintainya.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 13, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

One Shot StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang